Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi II memberikan ultimatum kepada pemerintah terkait rencana melibatkan militer dalam penanganan demonstrasi masyarakat. Mereka menolak keras penggunaan isu keamanan nasional untuk membenarkan kehadiran militer dalam situasi-situasi yang seharusnya dihadapi oleh aparat sipil. Menurut koalisi, langkah ini hanya akan menempatkan rakyat sebagai musuh negara dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa fungsi militer seharusnya terbatas pada pertahanan negara dan tidak digunakan untuk menangani aksi protes yang merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa eskalasi keamanan melalui status darurat, yang mungkin berujung pada pelibatan militer, adalah tindakan yang tidak hanya tidak perlu tetapi juga berbahaya. "Melibatkan militer di luar urusan pertahanan atas nama keamanan nasional untuk menangani ekspresi kebebasan berpendapat akan menempatkan rakyat sebagai musuh," ungkap Usman.
Kegagalan Pemahaman Akar Masalah
Usman juga mengkritik kegagalan pemerintah dalam memahami akar masalah yang dihadapi oleh rakyat. Menurutnya, kebijakan yang tidak berpihak kepada publik, seperti masalah pajak, lapangan kerja, dan penanganan lingkungan yang buruk, sering kali memicu protes. Kegagalan ini berlanjut dengan tindakan represif yang diambil oleh negara, yang semakin melukai kepercayaan publik. "Ini adalah akar masalah yang harus dipecahkan karena melebarkan kesenjangan sosial dan ketidakadilan," tegasnya.
Penting untuk dicatat bahwa konstitusi negara mengakui hak rakyat untuk berekspresi melalui aksi demonstrasi. Namun, seringkali negara merespons protes dengan cara kekerasan yang berlebihan, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Hal ini menjadi simbol dari kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya, seperti kasus tragis tewasnya sopir ojek online, Affan Kurniawan, dan mahasiswa Yogyakarta, Rheza Shendy.
Desakan untuk Menghentikan Kekerasan
Koalisi sipil mendesak pemerintah untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan yang diambil oleh aparat penegak hukum. Mereka menyerukan agar pihak berwenang menghukum setiap individu yang terlibat dalam penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, atau bahkan pembunuhan di luar hukum. Tindakan semacam ini hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi II merupakan gabungan dari berbagai organisasi terkenal, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), Imparsial, dan Transparansi Internasional Indonesia. Keberadaan mereka memperkuat suara rakyat yang menuntut perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.
Dalam konteks yang lebih luas, pelibatan militer dalam menangani protes tidak hanya berisiko terhadap hak asasi manusia, tetapi juga dapat merusak reputasi negara di mata internasional. Ketika masyarakat merasa terancam oleh aparat keamanan, kepercayaan terhadap institusi pemerintah cenderung menurun, sehingga menambah tantangan bagi stabilitas politik dan sosial.
Dengan kondisi ini, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan aspirasi rakyat dan mengatasi masalah yang ada tanpa menggunakan kekerasan. Seruan untuk dialog dan reformasi seharusnya lebih diutamakan, dengan mempertimbangkan ketidakpuasan yang mendasari aksi protes. Respons yang konstruktif, bukannya represif, akan lebih efektif dalam menjamin stabilitas dan keadilan sosial.
Dalam penanganan isu ini, langkah-langkah nyata yang proaktif sangat dibutuhkan untuk membangun kembali kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Tanpa adanya langkah tersebut, ketegangan dan konflik dipastikan akan terus berlanjut.





