
Sebanyak 10 anak di bawah umur di Bekasi kini terjerat hukum setelah terlibat dalam aksi kericuhan yang terjadi di Polres Metro Bekasi Kota dan Polsek Pondok Gede pada akhir Agustus 2025. Kericuhan ini diduga dipicu oleh provokasi melalui media sosial, di mana sejumlah anak tersebut mengikuti siaran langsung yang menyoroti situasi di lokasi kejadian. Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Novrian, mengungkapkan bahwa rasa ingin tahu dan ketertarikan anak-anak terhadap apa yang terjadi di media sosial menjadi faktor utama dalam peristiwa ini.
“Memang mereka terprovokasi dari media sosial. Beberapa melihat siaran langsung di sana. Ada rasa penasaran dan ingin tahu,” ujar Novrian kepada wartawan. Ia menambahkan, sifat anak-anak yang mudah dipengaruhi secara psikologis berkontribusi terhadap tindakan mereka yang melawan hukum.
Kesepuluh anak yang ditetapkan sebagai tersangka diduga terlibat dalam berbagai tindakan kriminal, termasuk melempar batu dan bom molotov. Dari jumlah tersebut, sembilan anak terlibat secara langsung dalam aksi penyerangan di Polsek Pondok Gede. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dalam usia yang masih muda, mereka sudah terpapar pada tindakan kekerasan.
Polisi sebelumnya telah mengamankan 66 orang yang diduga terlibat dalam kerusuhan tersebut. Dari jumlah itu, 24 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk 14 orang dewasa dan 10 anak di bawah umur. Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi Kota, AKBP Braiel Arnold Rondonuwu, menjelaskan rinciannya. “Dari 66 orang yang diamankan, 48 ditangkap saat kerusuhan di Polres Metro Bekasi Kota,” jelasnya. Di antara mereka, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, terdiri dari enam dewasa dan satu anak.
Aksi kericuhan ini tidak hanya terjadi di satu lokasi, tetapi juga menyebar ke Polsek Pondok Gede, di mana 18 orang yang terlibat berhasil diamankan. Dari kelompok ini, 17 orang dijerat dengan pasal-pasal yang terkait dengan kekerasan bersama di muka umum dan penghasutan terhadap petugas. Polisi memberikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Peristiwa ini menjadi perhatian serius bagi pihak berwenang, khususnya dalam konteks perlindungan anak. Novrian menyatakan bahwa tindakan preventif perlu diambil untuk menghindari hal serupa di masa depan. “Kita perlu berupaya agar anak-anak tidak terjerumus ke dalam tindakan kriminalitas yang serupa,” katanya. Beberapa pengamat menyarankan bahwa penting untuk meningkatkan edukasi kepada anak-anak mengenai bahaya provokasi di media sosial serta dampak hukum dari tindakan mereka.
Selain itu, diperlukan kerja sama yang lebih erat antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat dalam mengawasi aktivitas anak-anak, terutama di dunia digital. Dengan meningkatnya penggunaan teknologi dan media sosial, tantangan baru muncul dalam menjaga generasi muda dari pengaruh negatif yang dapat mengarah pada tindakan kriminal.
Dari kejadian ini, tampak bahwa masalah provokasi melalui media sosial menjadi isu penting yang perlu diselesaikan. Kesadaran akan keamanan digital dan perilaku baik di internet harus dipupuk sejak dini. Melalui pendampingan dan arah yang jelas, diharapkan anak-anak dapat terhindar dari jeratan hukum serta mampu memahami dan mencegah tindakan yang dapat merugikan mereka sendiri maupun orang lain.





