Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan akan memanggil Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk meminta klarifikasi mengenai kebijakan kerahasiaan dokumen persyaratan pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat memahami alasan di balik keputusan KPU yang dinilai dapat memicu polemik berkepanjangan.
Rifqinizamy menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas, terutama terkait dokumen penting dalam pemilihan umum. "Saya meminta kepada KPU untuk memberikan klarifikasi atas beberapa hal tersebut agar tidak menjadi simpang siur di publik," ujarnya, menekankan bahwa publik saat ini tengah membutuhkan kejelasan informasi.
Kebijakan KPU yang Kontroversial
KPU telah menetapkan bahwa beberapa dokumen persyaratan capres-cawapres tidak akan diungkap kepada publik, seperti tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025. Kebijakan ini, yang mulai berlaku pada 21 Agustus 2025, menyatakan beberapa informasi, termasuk ijazah dan rekam jejak bakal calon, sebagai informasi publik yang dikecualikan. Dalam keputusan tersebut, dijelaskan bahwa informasi ini hanya dapat diungkapkan dengan persetujuan dari yang bersangkutan.
Terdapat 16 poin yang diatur dalam keputusan tersebut, dengan dua poin penting yang mengundang perhatian. Poin kedelapan mencakup daftar riwayat hidup dan profil singkat bakal calon, sementara poin kedua belas menyinggung dokumen kelulusan seperti fotokopi ijazah, yang juga tidak bisa diakses tanpa izin.
Kekhawatiran Publik dan Alasan KPU
KPU berargumen bahwa membuka dokumen tersebut dapat menimbulkan risiko dan konsekuensi yang merugikan. "Informasi atas dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden digunakan dalam proses tahapan pendaftaran," jelas Ketua KPU, Afifudin, menyoroti betapa pentingnya menjaga kerahasiaan informasi demi keamanan data pribadi.
Di sisi lain, masyarakat menuntut kejelasan dan keadilan dalam proses pemilu. Kebijakan ini membuat banyak pihak merasa khawatir akan potensi penyalahgunaan informasi dan ketiadaan transparansi di kalangan calon pemimpin.
Reaksi dari Partai Politik
Perdebatan mengenai kebijakan KPU ini juga memicu reaksi dari beragam partai politik. Golkar, misalnya, mempertanyakan urgensi kerahasiaan ijazah calon. "Kenapa tiba-tiba? Pilpres masih lama," ungkap mereka menanggapi keputusan KPU yang dinilai prematur.
Partai lain, seperti PDIP, juga memberikan tanggapan serupa, menyebutkan bahwa akses terhadap informasi mengenai calon pemimpin harus diutamakan. Hal ini menunjukkan ketidakpuasan di kalangan politisi dan masyarakat terkait informasi yang seharusnya bisa diakses publik, agar bisa membangun kepercayaan terhadap pemilu yang akan datang.
Langkah Selanjutnya
Komisi II DPR berencana melakukan audiensi dengan KPU untuk membahas lebih jauh mengenai aturan ini. Meminta klarifikasi menjadi langkah awal dalam proses advokasi untuk mendorong keterbukaan informasi publik. Rifqinizamy percaya bahwa transparansi akan memperkuat institusi demokrasi dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menilai calon pemimpin mereka.
Melalui langkah ini, diharapkan bahwa penegakan transparansi dan akuntabilitas dalam pemilu dapat dicapai. Dengan adanya momen ini, diharapkan juga akan ada pembenahan dalam proses pendaftaran capres-cawapres di masa-masa mendatang, demi pemilihan yang lebih demokratis dan terbuka.
Dalam konteks pemilu yang semakin dekat, isu ini pastinya akan terus menjadi perhatian publik dan akan menjadi salah satu topik hangat yang dibahas di berbagai forum sampai pemilihan presiden terlaksana.





