Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menekankan pentingnya sinergi antara gaya kepemimpinan birokratis dan teknokratik dalam pengelolaan organisasi pemerintah. Menurutnya, dua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan, karena masing-masing memiliki karakteristik, kelebihan, dan keterbatasan yang perlu diperhatikan. Dalam sebuah acara di Jakarta Pusat, Tito menjelaskan bahwa kepemimpinan birokratis berfokus pada struktur hierarki dan kepatuhan terhadap kebijakan formal, sedangkan kepemimpinan teknokratik lebih menonjolkan kompetensi teknis dan inovasi.
Tito menyatakan, "Apakah kita harus murni teknokratis? Menurut saya tidak. Itu semua bergantung pada situasi, tantangan, dan kebutuhan organisasi." Pendapat ini mendukung pandangan bahwa efektifitas suatu organisasi sering kali ditentukan oleh kemampuan untuk mengkombinasikan kedua gaya kepemimpinan tersebut. Birokrasi menawarkan kejelasan dan disiplin, tetapi di sisi lain, pendekatan teknokratik bisa membawa fleksibilitas dan responsif terhadap perubahan.
Era transformasi digital, yang diprediksi oleh futuris Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave, telah membawa tantangan baru bagi birokrasi. Tito mencatat, perubahan ini terlihat pada berbagai sektor, dari komunikasi hingga pelayanan publik. Contoh nyata dari penerapan sinergi ini adalah mal pelayanan publik (MPP) yang telah diperkenalkan di berbagai daerah, termasuk Badung dan Makassar. MPP tidak hanya meningkatkan akses dan transparansi layanan, tetapi juga tetap berpegang pada prinsip-prinsip birokrasi.
"Ini adalah contoh nyata pergeseran dari gaya birokratis ke teknokratik," ungkap Tito. Ia menambahkan bagaimana pemerintah terus mendorong penerapan e-government sebagai upaya untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. Dengan memanfaatkan inovasi digital, organisasi diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat dan efisien kepada masyarakat.
Mendagri menyoroti bahwa keberhasilan organisasi masa kini sangat bergantung pada kemampuan pemimpin untuk menemukan keseimbangan antara disiplin aturan dan kecepatan inovasi. Tanpa keseimbangan ini, birokrasi dapat menjadi terlampau kaku dan lamban, sementara teknokrasi berisiko kehilangan arah jika tidak diperkuat dengan aturan yang jelas. Ini menunjukkan betapa pentingnya pengelolaan yang efisien dan adaptif dalam menghadapi tantangan dan dinamika yang selalu berubah.
Dari perspektif lain, Tito juga menekankan perlunya evaluasi terhadap berbagai program pemerintah yang telah diluncurkan. Sebagai contoh, dia menggarisbawahi pentingnya evaluasi terhadap tunjangan rumah untuk DPRD untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya dalam konteks birokrasi saat ini.
Di tengah kemajuan teknologi dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi, pemimpin diharapkan mampu mengembangkan visi yang jelas dan mampu mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Dalam hal ini, Tito memberikan penekanan pada perlunya pelatihan dan pengembangan bagi pegawai negeri sipil agar mereka mampu beradaptasi dengan perubahan serta menjadi inovator di organisasinya.
Sebagai langkah proaktif, Kementerian Dalam Negeri juga telah merencanakan berbagai inisiatif baru untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas pelayanan publik. Salah satunya adalah penerapan aplikasi digital yang memudahkan akses informasi dan memfasilitasi interaksi antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan demikian, sinergi antara birokrasi dan teknokrasi diharapkan dapat menciptakan organisasi yang lebih responsif dan relevan, sekaligus memberikan layanan publik yang lebih baik dan lebih transparan. Maka, kolaborasi yang kuat di antara kedua gaya kepemimpinan ini sangatlah penting dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien.





