Mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil memilih untuk tidak hadir dalam proses mediasi dengan Selebgram Lisa Mariana di Bareskrim Polri pada hari ini, Selasa (23/9/2025). Keputusan ini disampaikan oleh tim kuasa hukum Ridwan Kamil, yang diwakili oleh pengacara Muslim Jaya. Muslim menegaskan bahwa kliennya merasa cukup diwakili oleh tim pengacara dan telah menutup pintu damai dengan Lisa Mariana.
Muslim menjelaskan bahwa Ridwan Kamil ingin menghormati proses hukum yang sedang berjalan, termasuk gelar perkara dan penetapan status tersangka. “Ini adalah langkah yang diambil untuk memberikan efek jera, mengingat dampak pencemaran nama baik yang dituduhkan kepada Lisa sangat serius,” ujar Muslim. Keputusan Ridwan Kamil ini tentunya menunjukkan ketegangan yang sedang terjadi antara keduanya, yang bermula dari laporan pencemaran nama baik yang dibuat oleh Ridwan Kamil pada 11 April 2025.
Pengacara Lisa, John Boy Nababan, menyatakan bahwa pihaknya sudah menerima undangan untuk mediasi dan memastikan bahwa Lisa akan hadir. Ini menunjukkan upaya Lisa untuk menyelesaikan masalah secara langsung, meski Ridwan Kamil memilih untuk mengambil sikap pasif dalam proses tersebut. Laporan yang diajukan oleh Ridwan Kamil dicatat di Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/174/IV/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI, yang mengacu pada sejumlah pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bareskrim Polri sebelumnya mengeluarkan hasil tes DNA yang menunjukkan bahwa hasilnya tidak identik dengan anak Lisa Mariana, yang dikenal dengan inisial CA. Hasil pemeriksaan tersebut diperoleh dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri, menambah kompleksitas dalam hubungan antara Ridwan Kamil dan Lisa. Situasi ini semakin mencekam ketika publik mulai memperhatikan aspek hukum dan dampak sosial dari tudingan yang telah dilayangkan oleh kedua belah pihak.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya menjaga reputasi di era digital, di mana pencemaran nama baik dapat dilakukan dengan mudah melalui berbagai platform. Kedua pihak kini harus berhadapan dengan konsekuensi hukum dan sosial dari tindakan mereka, dan sikap Ridwan Kamil untuk tidak menghadiri mediasi mungkin menjadi salah satu strategi dalam menanggapi situasi ini.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini memberikan refleksi tentang bagaimana tokoh publik harus bereaksi dan bertindak di media sosial. Ketika reputasi seseorang dipertaruhkan, proses hukum sering menjadi pilihan yang harus dihadapi untuk memperjelas fakta dan hak masing-masing pihak. Hal ini relevan dengan isu-isu yang berhubungan dengan media sosial, di mana informasi dapat dengan cepat menyebar dan memicu opini publik yang beragam.
Dengan tidak hadirnya Ridwan Kamil di sidang mediasi ini, pertanyaan akan muncul mengenai langkah-langkah selanjutnya untuk kedua belah pihak. Bagaimana penyelesaian sengketa ini akan berjalan tanpa keterlibatan langsung dari salah satu pihak? Dan bagaimana dampak dari keputusan ini terhadap reputasi dan hubungan mereka di masa depan?
Berkelanjutan dari kasus ini akan terus menjadi perhatian masyarakat luas, mengingat ketenaran kedua tokoh ini yang menciptakan sorotan media yang sangat signifikan. Melihat bagaimana proses hukum ini berjalan, penting bagi publik untuk tetap memperhatikan perkembangan terbaru dan mencari informasi yang akurat mengenai kasus ini agar dapat memahami dinamika yang terjadi.





