
Krisis lingkungan saat ini telah bertransformasi menjadi isu kemanusiaan yang mengancam kesehatan dan kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menekankan perlunya peran aktif tokoh agama, adat, dan masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif demi menjaga planet sebagai warisan bagi generasi mendatang.
Untuk mendukung upaya ini, KLH/BPLH baru-baru ini mengadakan diskusi lintas agama dan tokoh masyarakat bertajuk “Kolaborasi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat dalam Mendorong Kepedulian Lingkungan”. Forum tersebut melibatkan pemimpin agama, akademisi, serta perwakilan masyarakat sipil sebagai langkah meningkatkan kapasitas bersama dalam mendorong perilaku ramah lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menggambarkan perlunya kerjasama dengan tokoh masyarakat dan agama. “Kami tidak bisa bekerja sendiri. Kepemimpinan dan masukan dari mereka sangat dibutuhkan agar gerakan perlindungan lingkungan lebih berdampak luas,” ujarnya. Menteri Hanif menekankan bahwa kolaborasi ini diharapkan mampu mengubah kesadaran menjadi aksi nyata yang membawa perubahan signifikan.
Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan serius terkait lingkungan. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 2024 menunjukkan angka 73,53, yang berarti “cukup baik”, namun sejumlah 150 daerah masih memiliki skor di bawah 65. Dari total 56,63 juta ton sampah yang dihasilkan setiap tahun, sekitar 34,54 juta ton belum terkelola dengan baik. Tidak hanya itu, deforestasi di tahun 2023 mencapai 175 ribu hektar, sementara emisi gas rumah kaca telah mencapai 1,8 miliar ton CO₂e pada 2022.
Wakil Menteri LH, Diaz Hendropriyono, mengaitkan pentingnya figur ulama dan pemuka agama dalam mempengaruhi masyarakat terhadap isu lingkungan. “Survei menunjukkan bahwa ulama merupakan figur paling berpengaruh. Oleh karena itu, kolaborasi ini menjadi kunci. Krisis iklim bukan hanya fenomena alam, tetapi akibat ulah manusia,” tegasnya.
Dari diskusi ini, KLH/BPLH mengumumkan target ambisius untuk mencapai pengelolaan sampah 100 persen pada tahun 2029 dengan menerapkan ekonomi sirkular. Ini mencakup program pengurangan penggunaan plastik sekali pakai dan pengembangan bank sampah. Tokoh agama Din Syamsuddin menekankan pentingnya langkah ini dengan mengapresiasi forum sebagai momentum penguatan kerja sama demi kelestarian lingkungan.
Para tokoh lintas agama juga menyuarakan bahwa krisis lingkungan merupakan panggilan moral dan spiritual. Pendeta Johan Kristantara menegaskan bahwa gereja harus menjadi pelopor dalam kepedulian ekologis. Pendekatan ini diperkuat oleh ajaran Laudato Si yang disampaikan oleh Romo Ferry Sutrisna, menekankan perlunya umat Katolik memandang bumi sebagai rumah bersama.
Dalam pandangannya, umat Buddha yang diwakili oleh Prof. Philip Kuntjoro mengedepankan kepedulian sehari-hari sebagai bagian dari program Eco Vihara, termasuk dalam pemilahan sampah. Sementara itu, Astoro Chandra Dana dari kalangan Hindu mengatakan bahwa tradisi Nyepi bisa menjadi contoh praktik nyata dalam penghematan energi dan penghormatan terhadap alam.
Diskusi ini juga menyiratkan bahwa krisis ekologis berhubungan erat dengan moralitas. Prof. Bagus Muljadi menegaskan sisi moral dari krisis ini, yang berakar pada warisan kolonial yang mendorong eksploitasi alam. Dia menyerukan pentingnya membangun etika lingkungan baru yang mengintegrasikan sains, sejarah, dan kearifan lokal.
Kedepannya, forum ini diharapkan dapat membentuk jaringan tokoh agama dan masyarakat peduli lingkungan di seluruh daerah. Jaringan ini akan berfungsi sebagai penggerak kampanye perubahan perilaku, penguatan gotong royong, serta kolaborasi lintas sektor dengan pendekatan pentahelix yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat, dan media.
Dengan inisiatif ini, kolaborasi lintas iman dan masyarakat diharapkan bisa menjadi kekuatan nyata untuk menghadapi tantangan krisis iklim global yang semakin memburuk.





