Babi adalah hewan yang secara jelas dinyatakan haram dalam ajaran Islam. Namun, persoalan mengenai penggunaannya tidak terbatas hanya pada dagingnya. Salah satu isu yang sering muncul adalah hukum menggunakan sepatu dari kulit babi bagi umat Muslim. Artikel ini membahas pandangan ulama, mazhab, dan fatwa yang berkaitan dengan penggunaan produk berbahan kulit babi di kalangan Muslim.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan larangan mengonsumsi daging babi dalam surat Al-Baqarah ayat 173. Ayat ini mencantumkan larangan terhadap berbagai bahan makanan yang dianggap haram, termasuk kulit babi. Namun, pertanyaan muncul mengenai status sepatu yang terbuat dari kulit babi: apakah haram untuk digunakan?
Pandangan Fikih tentang Kulit Hewan
Secara umum, para ulama sepakat bahwa kulit hewan yang mati tanpa disembelih sesuai syariat dianggap najis. Namun, pandangan mengenai apakah kulit tersebut bisa menjadi suci setelah proses penyamakan sangat bervariasi. Dalam mazhab Hanafi, kulit hewan najis dapat menjadi suci jika disamak. Sebaliknya, dalam mazhab Syafi’i, pandangan lebih ketat di mana anjing dan babi dianggap najis berat, sehingga statusnya tidak berubah meskipun telah disamak.
Mazhab Hanafi dan Maliki
Dalam mazhab Hanafi, ada pendapat bahwa kulit dari hewan najis seperti babi bisa digunakan setelah proses penyamakan. Sedangkan, mazhab Maliki lebih luas dalam pemahaman ini, mengizinkan penggunaan kulit dari berbagai hewan setelah disamak, termasuk kulit babi.
Mazhab Syafi’i
Pendapat di mazhab Syafi’i, yang dianut oleh mayoritas Muslim Indonesia, menyatakan bahwa kulit babi tetap dianggap najis meskipun telah disamak. Hal ini menjadi acuan utama bagi umat Islam di Indonesia untuk menghindari penggunaan sepatu yang terbuat dari kulit babi. Menurut ulama Syafi’iyah, karena babi termasuk dalam kategori najis mughallazhah, penggunaannya tidak diperbolehkan.
Fatwa dari MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa penggunaan produk berbahan kulit babi hukumnya haram. Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, menegaskan bahwa proses penyamakan atau pengolahan tidak mengubah status keharaman kulit babi. Oleh karena itu, semua produk yang terbuat dari kulit babi diharuskan mencantumkan label yang jelas.
Realitas di Pasar
Di pasaran, produk sepatu kulit babi masih terdapat dan umumnya dikenal memiliki tekstur lembut dan daya tahan yang baik. Namun, bagi umat Islam, kualitas produk tersebut tidak mengubah ketentuan syariat. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya produk halal telah meningkat, meskipun beberapa orang mungkin menganggap aspek praktis lebih dominan.
Dalam konteks ini, menjaga kesucian barang yang digunakan adalah hal yang penting untuk dilakukan, terutama saat beribadah. Banyak umat Muslim berusaha untuk memastikan bahwa barang yang mereka pakai tidak mengandung unsur haram, termasuk sepatu.
Kesimpulan yang Relevan
Berdasarkan pandangan yang berbeda dari mazhab dan fatwa resmi dari MUI, hukum menggunakan sepatu kulit babi bagi seorang Muslim adalah haram. Pendapat ini sejalan dengan mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, meskipun sepatu dari kulit babi memiliki kualitas tertentu, umat Islam dianjurkan untuk menghindarinya. Hal ini tidak hanya demi kepentingan spiritual, tetapi juga untuk mematuhi syariat dalam kehidupan sehari-hari serta menjaga kesucian dalam beribadah.





