Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah menjadi perbincangan hangat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu isu utama dalam pembahasan ini adalah transformasi Kementerian BUMN menjadi Badan Pengelola BUMN. Anggota Komisi VI DPR, Rivqy Abdul Halim, menekankan pentingnya menjaga prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945, yang amanatnya mengharuskan cabang-cabang produksi strategis dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Menurut Rivqy, RUU BUMN harus menjadi landasan yang mencerminkan amanat konstitusi. Pasal 33 menyebutkan bahwa sumber daya penting bagi negara dan masyarakat harus dikelola seluas-luasnya demi kesejahteraan rakyat. “Prinsip kekeluargaan dan orientasi kepada kesejahteraan rakyat harus senantiasa ada dalam setiap pengambilan keputusan terkait BUMN,” katanya dalam sesi wawancara.
Perubahan nomenklatur dari Kementerian menjadi Badan Pengelola diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan BUMN. Rivqy mencatat, pengalihan kewenangan ini bertujuan untuk menghindari kerancuan yang dapat terjadi antara Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dan pengelola BUMN. Dia berpendapat bahwa BP BUMN perlu memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak usulan restrukturisasi yang diajukan oleh BPI Danantara.
Pemindahan kewenangan ini memberi BP BUMN tanggung jawab yang lebih besar dalam mengontrol penggabungan, peleburan, dan pemisahan BUMN. “Keputusan-keputusan tersebut harus berdasarkan indikator yang jelas dan diarahkan untuk optimalisasi kinerja perusahaan negara demi kesejahteraan masyarakat,” ungkap Rivqy.
Selain itu, terdapat 10 poin perubahan pokok yang tengah dibahas dalam RUU BUMN. Di antaranya adalah pengaturan lebih mendetail mengenai mekanisme pengalihan, kewenangan BP BUMN dalam menyetujui dividen, dan pengawasan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam memeriksa BUMN. Rivqy menggarisbawahi pentingnya kehati-hatian dalam pengelolaan perusahaan negara untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Meskipun ada pengusulan perubahan struktur, Rivqy menekankan bahwa kritis terhadap BUMN tetap perlu. Ia mengingatkan bahwa selama ini BUMN sering kali dianggap sebagai ‘sapi perah’ yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. “PKB ingin agar pengelolaan BUMN benar-benar diarahkan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir pihak,” tegasnya.
Pentingnya prinsip yang terkandung dalam UUD 1945 menjadi telaah utama PKB dalam memberikan catatan terhadap RUU BUMN. Menurut mereka, nilai-nilai yang ada dalam pasal tersebut harus senantiasa dipertahankan, terutama di saat banyak perubahan yang diusulkan. Seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan DPR, diharapkan dapat berpegang pada prinsip-prinsip dasar ini, sehingga pengelolaan BUMN tidak hanya menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan tetapi lebih pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dalam pandangan PKB, pengelolaan BUMN yang lebih baik tidak hanya akan meningkatkan kinerja ekonomi negara, tetapi juga akan berdampak positif bagi masyarakat luas. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan transparan, serta pengintegrasian nilai-nilai keadilan sosial yang terkandung dalam Pasal 33, diharapkan RUU BUMN bisa menjadi langkah maju bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Proses pembahasan RUU BUMN ini menjadi momen penting untuk merenungkan kembali fungsi dan tujuan dari BUMN dalam konteks keberlanjutan dan kesejahteraan bangsa. Harapan akan pengelolaan yang lebih pro-rakyat di tengah arus perubahan yang cepat merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh semua pihak.





