Misteri di balik keracunan massal yang menimpa 1.315 siswa di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, kini telah terpecahkan. Tim Investigasi Independen dari Badan Gizi Nasional (BGN) menemukan bahwa penyebab keracunan bukanlah bakteri, melainkan kadar nitrit yang sangat tinggi dalam makanan yang mereka konsumsi, terutama dari buah melon dan lotek. Hasil pengujian menunjukkan kadar nitrit mencapai hampir empat kali lipat batas aman yang ditetapkan.
Ketua Tim Investigasi BGN, Karimah Muhammad, memberikan pernyataan tersebut setelah melakukan wawancara dengan para korban dan dokter yang menangani mereka. Ia mengungkapkan bahwa kadar nitrit yang terdeteksi dalam sampel makanan sisa di sekolah adalah 3,91 mg/L untuk buah melon dan 3,54 mg/L untuk lotek. Angka ini jauh melebihi batas maksimum yang diizinkan menurut Environmental Protection Agency (EPA) di AS, yang hanya membolehkan 1 mg/L. "Ini adalah temuan yang sangat serius," kata Karimah dalam sebuah konferensi pers.
Dampak Kadar Nitrit Terhadap Kesehatan
Gejala yang dialami oleh para siswa termasuk mual, muntah, dan nyeri lambung, yang mencerminkan kondisi keracunan nitrit. Menurut Karimah, 36% dari korban menunjukkan gejala di saluran pencernaan bagian atas, sementara hanya 3% yang mengalami diare, gejala yang biasanya mendominasi keracunan makanan. Hal ini menjadi keheranan bagi banyak dokter karena dalam keracunan makanan, diare sering kali menjadi gejala utama. "Namun, keracunan nitrit tidak memicu diare karena proses detoksifikasi yang lebih rumit," jelas Karimah.
Gejala lain seperti pusing dan sesak napas juga muncul, dengan prevalensi masing-masing sebesar 29%. Nitrit dapat menyebabkan methemoglobinemia, yang mengurangi kemampuan hemoglobin dalam darah untuk mengangkut oksigen, sehingga korban merasa lemas dan kesulitan bernapas.
Penyelidikan Menyusul Temuan
Tim investigasi tidak menemukan tanda-tanda bakteri berbahaya seperti Escherichia coli atau Staphylococcus aureus. Dalam analisis toksik, tidak ada racun sianida, arsen, logam berat, atau pestisida yang terdeteksi, hanya nitrit sebagai zat berbahaya. "Nitrit yang terkandung dalam buah dan sayur bisa meningkat karena proses alami, tetapi kadar dalam sampel ini sangat tidak aman," tambahnya.
Karimah mencatat bahwa meskipun senyawa nitrit alami terdapat dalam sebagian buah dan sayur, kondisi lingkungan dan penanganan makanan juga berkontribusi pada peningkatan kadarnya.
Tanggapan Masyarakat dan Upaya Penanganan
Meski jumlah korban mencapai 1.315, tidak semua di antaranya dirawat inap. Data dari Puskesmas dan RSUD menyebutkan bahwa hanya 7% yang memerlukan perawatan lebih lanjut, sementara 93% lainnya diizinkan pulang setelah pemeriksaan. Banyak orang tua memanfaatkan imbauan untuk membawa anak-anak mereka ke fasilitas kesehatan, yang menyebabkan lonjakan jumlah terdaftar.
Obat-obatan yang diberikan kepada korban termasuk parasetamol untuk meredakan nyeri, serta obat untuk mual dan nyeri lambung. Pada pasien yang dirawat, terapi infus dan suntikan juga dilakukan untuk mengatasi gejala. "Tidak ada bukti menunjukkan adanya kejang di antara para korban," tegas Karimah, menjelaskan bahwa banyak yang mengira kram yang dialami adalah akibat nyeri lambung.
Kejadian ini menyedot perhatian luas dari masyarakat dan menjadi pembelajaran penting dalam hal keamanan pangan serta presentasi informasi gizi yang tepat kepada masyarakat. Penemuan ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk memperketat standar keamanan dalam penyediaan makanan, terutama di sekolah-sekolah. Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Source: www.suara.com





