Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) baru-baru ini melaporkan lonjakan signifikan dalam kekerasan yang melibatkan aparat TNI, dengan 85 peristiwa kekerasan tercatat selama periode Oktober 2024 hingga September 2025. Dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Jakarta, Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menyatakan bahwa jumlah korban mencapai 182 orang, di mana 64 di antaranya mengalami luka-luka, 31 meninggal dunia, dan 87 lainnya menjadi korban intimidasi.
Lebih mencengangkan lagi, Dimas mengungkapkan bahwa sekitar 62,3% dari peristiwa kekerasan tersebut terjadi setelah pengesahan RUU TNI pada Maret 2025. Data ini menimbulkan keprihatinan mendalam tentang penggunaan kekuatan militer dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi beragam, mencakup penganiayaan, intimidasi, penyiksaan, penembakan, hingga kejahatan seksual, menunjukkan bahwa kekerasan bukan hanya sekadar insiden sporadis, melainkan pola yang perlu ditangani secara serius.
Papua Sebagai Episentrum Kekerasan
Penting untuk dicatat bahwa Papua diidentifikasi sebagai episentrum kekerasan, dengan 23 peristiwa terjadi dalam periode pemantauan. Dari total korban, sebanyak 67 warga Papua tercatat mengalami tindakan kekerasan. KontraS menyatakan, kekerasan ini tidak hanya mencederai orang-orang secara fisik, tetapi juga menggambarkan kekacauan dan ketidakpuasan sosial yang lebih luas di daerah tersebut. Tindakan aparat di Papua sering kali direspons dengan kekhawatiran bahwa hal ini akan memperburuk situasi ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang sudah rentan dan penuh konflik.
Tindakan yang Diperlukan
Melihat tren kekerasan yang mengkhawatirkan ini, KontraS memberikan beberapa rekomendasi konkret kepada pemerintah dan TNI. Pertama, mereka mendesak Panglima TNI dan jajaran untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam mencegah kekerasan terhadap warga sipil. Sanksi tegas terhadap prajurit yang melanggar hukum dan HAM juga dianggap sangat penting.
Kedua, KontraS mendorong evaluasi penempatan prajurit di Papua untuk memastikan warga sipil tidak menjadi korban, terutama dalam konteks kontak senjata. Dialog kebangsaan yang melibatkan TNI, pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, serta tokoh adat dan agama dianggap krusial untuk merumuskan kebijakan yang lebih manusiawi dan berperspektif damai.
Peran Militer dalam Proyek Strategis Nasional
KontraS juga menekankan pentingnya menghentikan pelibatan TNI dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) serta merevisi kebijakan mengenai pembentukan Brigade dan Batalion Teritorial Pembangunan. Langkah ini dianggap berpotensi memperluas peran militer masuk ke ranah sipil dan meningkatkan risiko kekerasan.
Perubahan kebijakan ini penting agar TNI dapat berfungsi sebagai lembaga keamanan yang profesional dan efektif, tanpa melanggar hak asasi manusia. Keterlibatan aparat dalam permasalahan sipil perlu dikelola dengan lebih baik untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.
Penutup yang Relevan
Peningkatan kekerasan yang melibatkan TNI di Indonesia, khususnya di Papua, menunjukkan perlunya langkah segera untuk memperbaiki situasi. Jika pemerintah dan TNI tidak segera mengambil tindakan pencegahan yang tepat, potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia kemungkinan akan terus berlanjut. Upaya kolaboratif dari semua pihak merupakan langkah awal menuju pembangunan yang lebih aman, adil, dan manusiawi di seluruh wilayah Indonesia.
Source: www.suara.com





