
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah meminta kepada Hakim Tunggal I Ketut Darpawan untuk menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Permohonan ini terkait dengan status tersangka Nadiem dalam dugaan korupsi pengadaan Chromebook di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbudristek). Kejagung berpendapat bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Nadiem tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan menilai permohonan tersebut cacat formil.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 6 Oktober 2025, penjelasan dari pihak Kejagung menekankan bahwa semua alasan yang diajukan oleh Nadiem tidak benar. “Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana tersebut di atas, termohon berkesimpulan bahwa semua dalil yang dijadikan alasan pemohon untuk mengajukan permohonan praperadilan ini adalah tidak benar,” ungkap jaksa dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dalam kesempatan itu.
Jaksa juga meminta hakim untuk menerima eksepsi sebagai bagian dari merespons permohonan Nadiem. Mereka menilai bahwa permohonan tersebut tidak seharusnya diproses lebih lanjut, dengan menyatakan bahwa hal tersebut berada di luar kewenangan praperadilan. “Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” jelas jaksa, sembari meminta agar semua permohonan dari pihak Nadiem ditolak.
Sebagai informasi, Nadiem Makarim mengajukan permohonan praperadilan ini setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka. Dalam pernyataannya, Nadiem menganggap bahwa penetapan tersebut tidak sah dan meminta hakim untuk membebaskannya dari status itu. Tim kuasa hukum Nadiem, yang dipimpin oleh Hotman Paris Hutapea, mengklaim bahwa penyematan status tersangka tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, seperti yang diatur dalam hukum. Hotman menyatakan, “Penetapan tersangka atas nama Nadiem Anwar Makarim tidak sah dan tidak mengikat secara hukum karena tidak didasarkan dengan bukti permulaan.”
Kejagung, melalui pernyataan resminya, menegaskan bahwa pengaduan praperadilan ini merupakan upaya dari Nadiem untuk mengintervensi proses hukum yang tengah berjalan. Jaksa menilai bahwa keberadaan kasus ini adalah bagian dari penegakan hukum yang harus dihormati dan tidak dapat dijadikan alat untuk menunda proses hukum.
Proses sidang praperadilan ini menjadi sorotan publik, terutama mengingat posisi Nadiem sebagai mantan menteri dan figur publik yang cukup dikenal. Publik terlihat antusias mengikuti perkembangan kasus ini, memandangnya sebagai bagian dari akuntabilitas pejabat publik di Indonesia.
Sementara itu, tanggapan dari berbagai pihak juga mulai muncul. Beberapa pengamat hukum menilai langkah Nadiem untuk mengajukan praperadilan adalah strategi yang tidak efisien dan dianggap keliru. Menurut mereka, proses hukum yang sedang berlangsung seharusnya dihadapi dengan bukti dan argumen yang kuat di ruang sidang, bukan dengan mengajukan permohonan praperadilan.
Keputusan hakim terhadap permohonan praperadilan ini diharapkan dapat diambil dalam waktu dekat. Hasil keputusan tersebut akan memengaruhi langkah hukum selanjutnya baik bagi Nadiem Makarim maupun pihak Kejagung. Dengan demikian, proses hukum yang transparent dan adil menjadi harapan semua pihak yang terlibat dalam perkara ini.
Sejumlah kalangan juga menanti respons resmi dari pihak Nadiem setelah putusan hakim keluar. Hal ini akan menjadi bagian penting dari narasi di media mengenai status hukum Nadiem dan dampaknya terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia ke depan.
Source: nasional.sindonews.com





