4 Fakta Korupsi Haji: Kuota ‘Haram’ Petugas dan Jual Beli ‘Tiket Eksekutif’

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang dalam proses penyelidikan mengenai praktik korupsi di Kementerian Agama (Kemenag) terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji untuk tahun 2023–2024. Penyelidikan yang dimulai sejak 9 Agustus 2023 ini mengekspos berbagai praktik ilegal yang merugikan keuangan negara dan masyarakat luas. Berikut adalah empat fakta penting mengenai kasus ini yang sedang menjadi sorotan.

1. Jual Beli Kuota untuk Petugas Haji

Salah satu temuan paling mengejutkan KPK adalah dugaan jual beli kuota haji yang seharusnya dialokasikan untuk petugas pendamping, kesehatan, dan pengawas. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa kuota ini telah diperjualbelikan kepada calon jemaah haji umum, yang jelas-jelas melanggar ketentuan. Dampak dari praktik ini adalah berkurangnya jumlah tenaga medis dan pengawas yang seharusnya melayani jemaah, sehingga mengurangi kualitas pelayanan haji di Tanah Suci.

2. Biro Perjalanan Haji Ilegal Membeli Kuota Resmi

Dari hasil penyelidikan, KPK juga menemukan eksistensi travel haji ilegal yang dapat memberangkatkan jemaah dengan cara membeli kuota dari biro resmi. Praktik ini memungkinkan travel yang tidak terdaftar untuk mendapatkan kuota haji khusus, sehingga calon jemaah yang ingin cepat berangkat haji meski harus membayar harga lebih tinggi. Berbagai cara dilakukan untuk menghindari antrean panjang dalam program haji reguler.

3. Kerugian Negara yang Signifikan

Sementara itu, KPK memperkirakan kerugian keuangan negara akibat praktik korupsi ini mencapai lebih dari Rp1 triliun. Angka ini menunjukkan betapa seriusnya dampak dari penyalahgunaan wewenang ini. Menariknya, pihak KPK telah mencatat pengembalian uang dari berbagai pihak terkait, dengan nominal mendekati Rp100 miliar. Hal ini menunjukkan adanya upaya dari individu maupun travel haji untuk merestorasi dana yang telah disalahgunakan.

4. Modus Penjualan Kuota "Haji Plus"

Salah satu modus licik yang diungkap adalah penetapan batas waktu pelunasan yang sengaja dibuat sempit untuk menjual kuota yang tidak terlunasi. Ini memungkinkan calon jemaah untuk membayar tambahan sekitar Rp100 juta agar bisa terangkat tanpa antrean, dibandingkan dengan program haji Furoda yang jauh lebih mahal. Penyaluran kuota ini menciptakan jalur bypass sistem yang diduga teriperasi secara terencana, menguntungkan segelintir orang saja.

Dugaan dalam kasus ini bukan hanya menjadi isu dalam lingkup internal Kemenag tetapi juga menciptakan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat luas, khususnya yang ingin melaksanakan ibadah haji. KPK harus terus mendalami setiap modul dan alur uang untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil dapat memberi efek jera dan keadilan bagi calon jemaah haji yang tidak terlibat dalam praktik korupsi ini. Investigasi ini diharapkan bisa membawa transparansi lebih baik dan memperbaiki sistem pelayanan haji di masa depan.

Source: www.suara.com

Exit mobile version