
Pengamat Kebijakan Publik, Bonatua Silalahi, mengajukan gugatan terhadap Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) akibat ketidakmampuan lembaga tersebut untuk menyediakan salinan data primer ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sidang perdana yang berkaitan dengan sengketa informasi publik ini dilangsungkan di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada hari Senin, 13 Oktober 2025.
Dalam keterangannya di hadapan majelis KIP, Bonatua menjelaskan bahwa kebutuhan akan salinan ijazah Jokowi muncul dari penelitiannya terkait publikasi di jurnal Scopus. Sebagai peneliti, ia menekankan pentingnya data yang terverifikasi dan tervalidasi. “Kelebihan peneliti Scopus dalam hal uji data adalah bahwa uji data saya harus terverifikasi dan tervalidasi,” ujarnya. Dokumen resmi dari ANRI dianggap sebagai sumber yang paling kredibel untuk memastikan kualitas penelitiannya.
Bonatua menjelaskan bahwa setelah pemilihan umum, data terkait ijazah seharusnya telah berpindah ke ANRI. Namun, ANRI tidak mampu memberikan dokumen tersebut yang telah menjadi syarat utama untuk mendukung hasil risetnya. “Dokumen yang dihasilkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja tidak mencukupi,” tambahnya, menyatakan bahwa hanya fotokopi dari KPU yang diterimanya, sementara ia memerlukan data primer.
Dalam persidangan, majelis meminta Bonatua untuk menjelaskan kerugian yang dialaminya akibat tidak mendapatkan dokumen tersebut. Ia menegaskan bahwa konsekuensinya sangat serius, mengingat ketidaklengkapan data dapat menyebabkan penolakan artikel penelitiannya oleh jurnal. “Kemungkinan besar jurnal akan menolak artikel saya,” ungkapnya.
Perlu dicatat bahwa permintaan Bonatua kepada ANRI berisi beberapa poin spesifik. Ia meminta salinan dokumen ijazah atas nama Joko Widodo yang digunakan sebagai persyaratan pencalonan Presiden Republik Indonesia untuk dua periode pemilihan, yaitu 2014–2019 dan 2019–2024. Selain itu, ia juga meminta catatan autentikasi atau dokumen pendukung terkait yang tersimpan di arsip statis negara.
Namun, ANRI menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki arsip ijazah Jokowi, yang menjadi inti masalah dalam gugatan ini. Karena tidak mendapatkan data yang diminta, Bonatua merasa terpaksa mengajukan gugatan di KIP, berharap untuk mendapatkan akses yang sah atas informasi yang ia butuhkan.
Kasus ini menimbulkan perdebatan mengenai transparansi dan akses informasi publik, terutama dalam konteks data yang berkaitan dengan pejabat publik. Oleh karena itu, persidangan ini tidak hanya berdampak pada Bonatua dan penelitian yang ia lakukan, tetapi juga akan menjadi sorotan penting dalam praktik administrasi negara yang lebih besar.
Saat ini, persidangan sengketa informasi publik antara Bonatua dan ANRI masih berlangsung, dan bakal menarik perhatian banyak pihak, baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat umum yang memperhatikan isu transparansi informasi. Sementara itu, ANRI menghadapi tantangan untuk memenuhi tuntutan informasi publik dalam konteks yang semakin kompleks dan kritis.
Source: nasional.sindonews.com





