Limbah Komuter: Jakarta Menanggung Beban, Paljaya Berjuang Mengatasi

Setiap hari, Jakarta menghadapi tantangan besar akibat tingginya jumlah komuter yang datang dari wilayah sekitar, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Dengan total sekitar 4,41 juta orang berpindah ke dan dari ibu kota, dampak ekologis yang ditimbulkan pun menjadi semakin nyata. Salah satunya adalah limbah cair manusia yang dihasilkan selama aktivitas sehari-hari di ibu kota. Fenomena ini menempatkan Jakarta dalam posisi sulit, di mana beban limbah harus ditanggung hanya oleh kota ini, sementara solusi pengolahan limbah belum sebanding dengan jumlah yang dihasilkan.

Menurut Survei Komuter Jabodetabek 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), dengan asumsi konsumsi air rata-rata 120 liter per orang dan sekitar 80 persen dari jumlah tersebut berubah menjadi limbah, Jakarta harus menghadapi tambahan sekitar 423 juta liter limbah cair setiap harinya. Angka ini setara dengan hampir 170 kali kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Setiabudi yang hanya mampu mengolah 250 liter per detik. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah Jakarta masih sangat terbatas untuk mengakomodasi meningkatnya jumlah komuter.

Sistem Pengolahan Masih Terbatas

Kapasitas pengolahan limbah di Jakarta sangat jauh dari memadai. Berbagai instalasi yang ada, termasuk IPAL Setiabudi dan IPAL Krukut, hanya mampu menangani total sekitar 30 ribu meter kubik per hari. Ini belum termasuk dua instalasi pengolahan lumpur tinja yang masing-masing hanya mampu menampung 900 meter kubik per hari. Dengan cakupan layanan pengolahan limbah yang hanya mencapai 6 hingga 10 persen, beban tambahan dari komuter terus mengalir tanpa henti, menciptakan krisis sanitasi yang serius.

Paljaya di Garda Depan

Dalam menghadapi tantangan ini, Perumda Paljaya berperan sebagai garda terdepan dalam pengelolaan sanitasi di Jakarta. Paljaya mengelola jaringan perpipaan di area Setiabudi-Kuningan, yang melayani lebih dari 2.000 sambungan rumah tangga. Mereka juga sedang membangun sejumlah instalasi baru, seperti SPALD-T di TB Simatupang yang diharapkan mampu melayani kapasitas antara 4.000 hingga 6.000 meter kubik per hari.

Paljaya terus mengembangkan inovasi dan teknologi untuk mengolah limbah secara lebih efektif, termasuk pemanfaatan biofilter dan limbah olahan menjadi pupuk. Namun, dengan pertambahan beban limbah, upaya ini terasa seperti berlari melawan arus. Cakupan layanan IPAL yang berkembang perlahan harus diseimbangkan dengan kebutuhan mendesak untuk mengelola limbah yang terus meningkat.

Konsistensi Perumda Paljaya

Meski banyak tantangan, Paljaya menunjukkan konsistensi dalam menjaga dan meningkatkan sanitasi di Jakarta. Namun, jelas bahwa isu limbah cair ini bukan masalah yang bisa diselesaikan seorang diri; keterlibatan pemerintah daerah Bodetabek sangat diperlukan dalam perencanaan dan investasi pengolahan limbah secara regional. Jika tidak, Jakarta akan terus menanggung beban limbah dari jutaan pekerja luar kota, merusak ekosistem dan mengancam kesehatan masyarakat.

Menyelamatkan Bumi Dimulai dari Toilet

Limbah cair manusia mungkin tidak sering dibahas, tetapi dampak yang ditimbulkannya dapat merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Air kotor yang tidak terolah dapat menyebarkan penyakit dan merusak sumber air bersih. Sementara teknologi untuk mengolah limbah sudah tersedia, tantangan terbesar tetap pada perluasan cakupan layanan serta peningkatan kesadaran publik akan dampak lingkungan dari perilaku sehari-hari.

Dengan dukungan teknologi, kolaborasi antar wilayah, serta partisipasi aktif warga, Jakarta dapat mengubah toilet sehari-hari menjadi bagian dari gerakan untuk menyelamatkan bumi. Paljaya juga ingin memproyeksikan visi akan Jakarta yang bebas limbah sebagai misi kolektif, bukan sekadar angan-angan. Perubahan ini harus dimulai dari kesadaran bersama untuk melindungi lingkungan demi generasi mendatang.

Source: news.okezone.com

Berita Terkait

Back to top button