KPK mengungkapkan dugaan adanya ‘janji palsu’ dari pemerintah terkait pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat. Di tengah pengumuman resmi yang dilakukan di Istana Negara, KPK tidak menemukan adanya dokumen konkret yang mendukung klaim pemerintah akan pencabutan izin tersebut. Kepala Satgas Koordinasi dan Supervisi KPK, Dian Patria, menegaskan bahwa pihaknya telah mengalami kesulitan dalam verifikasi klaim tersebut, dengan terus ‘dilempar’ dari satu instansi ke instansi lainnya saat mencari surat keputusan yang seharusnya ada.
"Terus terang sampai detik ini kami belum pernah lihat SK pencabutannya," ungkap Dian. Ia menjelaskan bahwa ketika bertanya kepada Kementerian ESDM, mereka dirujuk kepada BKPM, di mana BKPM menyebut bahwa surat tersebut sedang dalam proses. Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan KPK terhadap keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti janji terkait pencabutan izin.
Ketidakpastian dan Operasional Perusahaan
Ironisnya, di tengah kebingungan tersebut, satu perusahaan tambang nikel, PT Gag Nikel, diketahui telah kembali beroperasi. PT Gag Nikel adalah perusahaan yang sudah lama beroperasi di wilayah tersebut dan dikatakan memiliki ‘privilege’ tertentu. Dian menambahkan bahwa perusahaan ini mendapat dispensasi untuk beroperasi di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi.
Dari total luas wilayah Pulau Manuran, sekitar 70 persen dikuasai oleh lahan pertambangan, menunjukkan tekanan yang kuat terhadap lingkungan di kawasan ini. Pemerintah sebelumnya telah mengumumkan rencana untuk mencabut izin dari empat perusahaan tambang yang terbukti melakukan pelanggaran, namun dengan tidak adanya bukti resmi pencabutan dan satu perusahaan yang tetap operasional, pertanyaan tentang integritas pemerintah menjadi semakin besar.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Polemik ini menjadi perhatian publik, terutama setelah protes menyangkut dampak negatif pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Apabila pemerintah tidak dapat membuktikan ketegasan dalam mencabut izin tambang ini, kemarahan publik bisa meningkat. Sejumlah aktivis memperingatkan bahwa pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas tambang dapat merusak geowisata di kawasan Raja Ampat, yang terkenal dengan keindahan alamnya.
Pada bulan Juni 2025, pemerintah mencabut izin perusahaan-perusahaan yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa keputusan mencabut izin tersebut diambil setelah proses koordinasi yang melibatkan berbagai pihak. Akan tetapi, tantangan untuk menghadirkan dokumen dan bukti konkret pencabutan izinnya kini mencuat.
Proses Pencabutan Izin yang Dipertanyakan
Proses yang harus dilalui oleh pemerintah untuk mencabut izin tersebut seharusnya tidak dapat dipandang sepele. Diawali dengan rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden dan melibatkan kementerian terkait, langkah ini seharusnya mengedepankan kejelasan. Namun, dengan ketidakpastian yang melingkupi pencabutan izin ini, banyak pihak mempertanyakan apakah janji tersebut hanya bersifat formalitas.
Kepala Satgas KPK bahkan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah lingkungan dan pelanggaran oleh perusahaan tambang. “Apakah serius atau tidak pemerintah mencabut empat IUP yang diumumkan, tapi sampai saat ini tidak ada dokumennya sama sekali,” ujar Dian dengan nada penuh pertanyaan.
Sementara itu, KPK mencemaskan bahwa tanpa tindakan yang jelas, perusahaan tambang yang tidak memenuhi standar bisa terus beroperasi. Dapat dikatakan, situasi ini mencerminkan sebuah tantangan besar bagi pemerintah Indonesia dalam menegakkan hukum dan menjaga kelestarian lingkungan sambil tetap mempertimbangkan kepentingan ekonomi.
Polemik ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam keputusan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Publik dan berbagai pihak kini menunggu langkah nyata dari pemerintah untuk memastikan bahwa janji-janji yang telah dilontarkan akan diikuti dengan tindakan yang konkret dan terukur.
Source: www.suara.com





