Yogyakarta menjadi saksi atas sebuah pameran yang bersejarah, menyoroti perjalanan hidup dan karya Mia Bustam, seorang seniman yang sering dikenal hanya sebagai mantan istri seorang maestro. Tanggal 6 Oktober 2025 menandai pembukaan pameran ini di Benteng Vredeburg, yang berlangsung hingga 20 November 2025. Pameran ini kali pertama menghadirkan karya-karya Mia Bustam secara tunggal, menciptakan ruang yang mengangkat kontribusi dan perjuangannya di dunia seni rupa Indonesia.
Lahir dengan nama Sasmiyati Sri Mojoretno pada tahun 1920, Mia adalah seniman, penyulam, penulis, dan penerjemah yang mendalami seni rupa sejak awal kehidupannya. Ia dikenal sebagai anggota aktif dari berbagai organisasi seni, termasuk Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), di mana ia pernah menjabat sebagai pimpinan LEKRA Yogyakarta antara tahun 1963 hingga 1965. Meskipun memiliki banyak bakat, termasuk mendapatkan predikat siswa terbaik di Universitas Rakyat (UNRA), karya-karya Mia sering terpinggirkan dalam narasi sejarah seni rupa yang lebih besar.
Sebuah arsip dari majalah Api Kartini edisi tahun 1960 mengungkap mimpi Mia untuk mengadakan pameran tunggal, impian yang tidak pernah terwujud akibat penangkapannya pada 23 November 1965. Ia ditahan selama lebih dari tiga belas tahun tanpa proses hukum yang jelas. “Pameran ini adalah inisiatif solidaritas antar generasi untuk menghadirkan narasi seorang seniman yang terabaikan,” ungkap Astrid Reza yang memimpin tim riset di balik pameran ini.
Dari total karya yang ada, sebagian besar telah hilang, maka tim riset memilih pendekatan rekonstruksi dengan memanfaatkan arsip-arsip yang ada dan mendokumentasikan narasi biografis Mia. Pameran ini menyajikan lini masa hidupnya, lengkap dengan arsip, foto, dan karya-karya visual yang tersisa, seperti lukisan dan sketsa. Selain itu, karya-karya kontemporer dari seniman Yogyakarta yang terinspirasi oleh Mia juga ditampilkan, memberikan perspektif baru atas jejak artistiknya.
Kiprah Mia sebagai seniman terhenti akibat tragedi tahun 1965, walaupun ia masih melukis dalam penjara, menggambarkan kerinduan akan keluarganya. Astrid Reza, dalam sambutannya, menekankan bahwa keteguhan Mia adalah pelajaran tentang daya tahan dan semangat perlawanan. “Hari ini, Mia Bustam mengajarkan kita bahwa melankolia harus dilampaui,” katanya.
Pameran ini bukan hanya sebatas mengingat sejarah, tetapi juga mengimajinasikan apa yang mungkin terjadi jika tragedi tersebut tidak pernah terjadi. Dosen Universitas Sanata Dharma, St. Sunardi, menekankan arti penting daya hidup Mia yang jauh melampaui karya-karyanya. Ia menyatakan bahwa catatan hidup Mia seharusnya merevitalisasi dunia seni rupa di Indonesia.
Enam anak Mia Bustam turut hadir di pembukaan pameran dan mengungkapkan keterkejutannya saat menyadari pentingnya sosok ibu mereka dalam dunia seni. “Ini pertama kalinya dalam sejarah karya-karya ibu ditampilkan dalam pameran tunggal,” ungkap Sri Nasti Rukmawati, anak kedua Mia.
Alia Swastika, kurator pameran, menegaskan pentingnya peran Mia dalam mendukung seniman muda dan gerakan internasionalisme, menunjukkan bahwa visi besar dapat muncul dari individu manapun, termasuk perempuan daerah seperti Mia.
Pameran ini, menurut Dyah Soemarno, pimpinan produksi, adalah langkah awal untuk mengenalkan Mia Bustam kepada publik yang selama ini tidak mengenalnya, sekaligus menyuarakan pengalaman keluarga-keluarga yang terbelah akibat sejarah politik. “Mia meninggalkan catatan yang seolah mewakili suara hati kakek-nenek lainnya,” jelas Dyah, menambahkan bahwa pameran ini juga berpotensi menjadi sarana rekonsiliasi bagi masyarakat.
Dengan berbagai elemen yang diramu dalam pameran ini, harapan sosial, dan kisah ketabahan Mia Bustam, acara ini menjadi titik awal untuk merenungkan kembali makna seni dan identitas perempuan dalam sejarah panjang seni rupa Indonesia.
Source: www.medcom.id
