Politisi PDIP Sentil Keras: Apa Hebatnya Soeharto Sehingga Dapat Gelar Pahlawan?

Perdebatan mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, kembali mencuat ke permukaan. PDI Perjuangan (PDIP) menolak keras usulan tersebut dengan mengangkat kembali catatan kelam Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Sementara itu, suara dari pimpinan MPR RI justru menyatakan bahwa nama Soeharto “sudah bersih” dan seharusnya tidak ada masalah terkait masalah ini.

Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning, menjadi salah satu pengkritik paling vokal. Dalam pernyataannya, ia dengan tegas mengungkapkan keberatan terhadap pemberian gelar tersebut. “Menolak keras! Lah aneh aja ya. Apa hebatnya Soeharto? Siapa mau dikasih gelar pahlawan?” ungkap Ribka. Ia mengingatkan kembali sejumlah fakta kelam dari rezim yang dipimpin oleh Soeharto, termasuk praktik memenjarakan individu tanpa pengadilan dan memecat karyawan tanpa alasan yang jelas.

Di sisi lain, Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, memberikan pandangan yang berbeda. Ia mengklaim bahwa secara kelembagaan, status Soeharto telah dinyatakan bersih berdasarkan Ketetapan MPR yang berlaku di masa lalu. “Ya kita tunggu keputusan presiden, tetapi kalau dari sisi MPR, pada periode lalu Soeharto sudah dinyatakan ‘clear’,” katanya. Menurut Muzani, keputusan akhir mengenai gelar pahlawan nasional ini ada di tangan Presiden Prabowo Subianto, yang tentunya akan mempertimbangkan segala aspek terkait peran Soeharto dalam sejarah Indonesia.

Pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto memang bukan hal baru. Banyak pihak yang berpendapat bahwa kepemimpinan Soeharto selama lebih dari 30 tahun harus diambil kira, meskipun berada dalam konteks kontroversial. Namun, PDIP terus mengingatkan akan “noda hitam” yang ditinggalkan Orde Baru. Ribka Tjiptaning menegaskan bahwa citra Soeharto sangat jauh dari gambaran seorang pahlawan, dan kerasnya gaya kepemimpinannya patut menjadi pertimbangan penting.

Dalam diskusi ini, penting untuk mengingat kembali sejarah. Soeharto, sebagai tokoh sentral dalam sejarah Indonesia, sering kali dikaitkan dengan berbagai klaim hak asasi manusia yang dilanggar selama masa pemerintahannya. Angka-angka yang dicatat pada periode itu menunjukkan adanya banyak tindakan penghilangan atau pembunuhan terhadap mereka yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan. Meski demikian, juga terdapat pihak yang merujuk pada stabilitas ekonomi dan pembangunan yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto sebagai alasan untuk mendukung pencalonan tersebut.

PDI Perjuangan dan Ahmad Muzani bukanlah satu-satunya aktor politik yang terlibat dalam perdebatan ini. Beberapa kalangan masyarakat sipil juga ikut memberikan suara. Banyak yang mencicipi berbagai dampak langsung dari kebijakan Soeharto, baik positif maupun negatif, dan pengalaman kontras ini terlihat dalam pandangan mereka terhadap acara ini. Apakah Soeharto layak disebut pahlawan, ataukah ia lebih cocok dikatakan sebagai tokoh dengan banyak kontroversi, merupakan hal yang masih didiskusikan secara mendalam di masyarakat.

Kini, bola panas mengenai gelar pahlawan nasional untuk Soeharto ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Dalam beberapa waktu ke depan, keputusan yang diambilnya akan mencerminkan pandangannya terhadap sejarah dan kondisi bangsa saat ini. Apakah pengabdian Soeharto pada negara akan diakui dengan gelar resmi, ataukah sebaliknya akan terus menjadi pertanyaan yang tidak terjawab. Tarik menarik narasi sejarah ini menunjukkan betapa kompleksnya perjalanan politik Indonesia dan bagaimana masa lalu sering kali masih membayangi masa kini.

Source: www.suara.com

Berita Terkait

Back to top button