Guru Besar UGM: Polemik Pemangkasan TKD Tunjukkan Kelemahan Fiskal Daerah

Sejumlah kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mengungkapkan kesulitan dalam menentukan prioritas pembangunan. Hal ini terjadi setelah pemerintah berencana memangkas dana transfer ke daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang dijadwalkan sebesar Rp 650 triliun. Angka ini turun signifikan dari Rp 848 triliun pada tahun 2025. Pemangkasan ini memicu dilema bagi pemerintah daerah (pemda) antara membiayai anggaran pegawai yang terus meningkat ataupun melanjutkan program pembangunan yang menjadi prioritas.

Guru Besar bidang Tata Kelola Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabriel Lele, menilai kondisi ini mencerminkan lemahnya kemandirian fiskal daerah. “Mayoritas penerimaan daerah itu berasal dari pusat, dan itu menimbulkan ketergantungan yang besar,” kata Gabriel. Ketergantungan ini diyakini berdampak besar terhadap kemampuan daerah untuk beradaptasi dan mengelola berbagai pembangunan yang diperlukan.

Dampak dari kebijakan fiskal pusat dirasakan secara langsung oleh pemda dalam mengelola pembangunan. Gabriel menyoroti adanya kebijakan belanja wajib yang mengikat, di mana pemerintah pusat menetapkan bahwa belanja rutin, gaji, dan tunjangan tidak boleh lebih dari 30% dari total anggaran. “Pemerintah pusat melalui kebijakan terbaru mengharuskan alokasi untuk pendidikan dan kesehatan juga harus mematuhi batasan tertentu,” jelasnya.

Namun, Gabriel juga mengkritik kebijakan pusat yang dianggap tidak konsisten. Meski pemerintah menetapkan batasan anggaran pegawai, mereka juga melakukan pengangkatan besar-besaran pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), yang justru menambah beban keuangan daerah. “Pusat mengatakan belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30%, tetapi kemudian menambah beban keuangan melalui pengangkatan pegawai. Ini jelas tidak konsisten,” tegasnya.

Lebih lanjut, kebijakan ini membatasi ruang gerak kepala daerah dalam menjalankan program-program pembangunan. Banyaknya belanja yang sudah “terkunci” untuk pos-pos wajib membuat mereka sulit untuk merealisasikan janji-janji politik dan kebutuhan lokal. “Diskresi kepala daerah untuk responsif terhadap kebutuhan lokal semakin berkurang,” ungkap Gabriel.

Gabriel memperkirakan bahwa dalam menghadapi pemangkasan TKD, pemerintah daerah akan mencari cara untuk menutupi kekurangan. Salah satu solusi yang mungkin diambil adalah menaikkan tarif pajak atau retribusi. “Meningkatkan retribusi adalah salah satu cara yang mungkin dilakukan, tetapi itu akan mengharuskan pemda bekerja ekstra keras,” ujarnya.

Di sisi lain, Gabriel juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap kebijakan anggaran TKD. Menurutnya, situasi ini memperburuk kondisi desentralisasi yang seharusnya memberikan otonomi lebih kepada daerah. “Demokrasi di Indonesia cenderung otokratik dan terkonsolidasi di pusat, ini perlu dicermati lebih dalam,” katanya.

Selanjutnya, Gabriel mengusulkan agar perlu ada evaluasi ulang terhadap belanja prioritas dan skema desentralisasi fiskal yang ideal. “Ini penting untuk dibicarakan kembali agar daerah memiliki daya juang yang lebih baik dalam menghadapi tantangan pembangunan,” pungkasnya.

Kondisi ini menyoroti perlunya reformasi dalam kebijakan fiskal agar daerah dapat mandiri dan berdaya saing lebih baik. Kemandirian fiskal yang kuat sangat penting untuk mendukung berbagai program pembangunan di tingkat daerah tanpa ketergantungan berlebih kepada pusat. Diskusi lebih lanjut mengenai skema kebijakan yang dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan, demi masa depan pembangunan yang lebih seimbang.

Source: www.beritasatu.com

Berita Terkait

Back to top button