Insiden di KTT ASEAN yang berlangsung pada 26 Oktober 2025 menimbulkan perhatian luas setelah pembawa acara dari Radio Televisyen Malaysia (RTM) salah menyebut nama Presiden Indonesia. Dalam siaran langsung tersebut, nama Prabowo Subianto disebut sebagai Joko Widodo, sebuah kesalahan yang segera memicu respons dari pihak Malaysia.
RTM secara resmi mengakui kesalahan ini dan melalui akun Instagram resminya, @rtm_malaysia, mereka mengeluarkan permintaan maaf yang jelas. Dalam pernyataan tersebut, ditulis bahwa kesalahan terjadi karena pengulas melakukan penyebutan yang tidak akurat. “Berdasarkan siasatan dalaman, terdapat kesilapan oleh pengulas siaran yang telah menyebut nama Presiden Republik Indonesia sebagai Joko Widodo, sedangkan Presiden Republik Indonesia yang terkini ialah Prabowo Subianto,” bunyi pernyataan tersebut.
Dalam konteks acara penting ini, pernyataan dari RTM sangat penting untuk menjaga hubungan diplomatik di wilayah ASEAN. Siaran langsung seperti ini dihadiri oleh banyak tokoh terkemuka dan mengangkat isu-isu penting di kawasan, sehingga ketepatan informasi menjadi sangat krusial. Kesalahan penyebutan nama pemimpin negara tidak hanya mencerminkan kurangnya perhatian editorial, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di antara negara-negara yang terlibat.
RTM dengan cepat menanggapi kritik yang muncul, menegaskan bahwa mereka menganggap serius masalah ini. “Pihak RTM memandang serius perkara ini dan tindakan sewajarnya telah diambil,” tambah pernyataan tersebut. Selain pernyataan maaf, mereka juga menjelaskan bahwa mereka akan melakukan peningkatan dalam proses editorial agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.
Menyikapi insiden ini, pihak RTM menyatakan komitmennya untuk meningkatkan pengawasan editorial dan proses pemeriksaan fakta. “RTM juga akan terus meningkatkan kawalan editorial dan semakan fakta bagi memastikan setiap maklumat yang disampaikan adalah tepat serta berintegriti,” jelas mereka. Ini menunjukkan perhatian yang lebih besar terhadap akurasi informasi yang disiarkan, terutama mengenai sosok-sosok penting dalam konteks internasional.
Tindakan cepat RTM dalam meminta maaf menunjukkan kesadaran mereka akan konsekuensi dari kesalahan tersebut dan pentingnya menjaga integritas media. Usai kejadian ini, masyarakat luas, khususnya di Indonesia dan Malaysia, memperhatikan bagaimana aspek diplomasi dan etika media saling berhubungan.
Dalam keterangan lebih lanjut, RTM juga menjelaskan bahwa mereka akan melakukan evaluasi terhadap proses editorial untuk memastikan setiap informasi yang disampaikan adalah faktual. Upaya ini merupakan langkah preventif yang penting, terutama mengingat bahwa kesalahan dalam penyebutan nama pemimpin dapat memiliki implikasi luas dalam hubungan antar negara.
Kesalahan ini juga mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh media di era digital saat ini, di mana kecepatan dan akurasi informasi menjadi sangat penting. Dengan adanya insiden seperti ini, baik media maupun publik dituntut untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan dan menerima informasi.
Selain itu, respons yang konsisten dari RTM menunjukkan upaya untuk memperbaiki reputasi serta mencegah dampak negatif yang mungkin timbul di baik pihak Indonesia maupun masyarakat internasional. Melalui pernyataan dan tindakan tegas mereka, RTM tidak hanya berusaha untuk mengatasi dampak dari kejadian ini tetapi juga berupaya untuk memperkuat kredibilitas media mereka di kancah internasional.
Dengan situasi yang berkembang, diharapkan semua pihak dapat belajar dari insiden ini dan terus bekerja bersama untuk memastikan komunikasi yang lebih baik dan lebih akurat dalam konteks diplomasi. Para pemimpin, jurnalis, dan publik perlu sama-sama menjaga integritas informasi demi hubungan yang lebih harmonis antara negara-negara di kawasan ASEAN.
Source: www.inews.id





