
Pengembalian sebesar Rp13,25 triliun oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) menjadi sorotan publik dan dianggap sebagai momentum yang penting dalam melakukan perubahan sistem administrasi negara. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menilai langkah ini bukan sekadar formalitas belaka, tetapi juga sebagai sinyal untuk membenahi tata kelola penegakan hukum yang selama ini dianggap tidak optimal.
Jimly mengungkapkan, selama puluhan tahun, banyak aset hasil sitaan dari berbagai kasus kejahatan, baik uang maupun harta bergerak dan tidak bergerak, tidak dikelola dengan baik. Kejaksaan dan pihak kepolisian, menurutnya, perlu memiliki sistem yang lebih transparan terkait barang sitaan. "Bayangkan, ada banyak barang, termasuk kapal yang disita, tetapi tidak jelas kemanakah perginya setelah itu," katanya dalam sebuah wawancara.
Kejagung melalui pengembalian ini menunjukkan bahwa penegakan hukum bisa berujung pada perbaikan pendapatan negara. Pengembalian kerugian negara yang terjadi sekarang diharapkan membuka kesadaran akan banyaknya potensi aset hasil korupsi yang terabaikan. Jimly menambahkan, "Ini momentum untuk melakukan reformasi pemerintahan, terutama dalam hal administrasi dan pelayanan."
Kebutuhan Sistem Informasi yang Terintegrasi
Menurut Jimly, bagi pemerintah saat ini, pengumpulan dan pengelolaan data harus lebih modern dan terintegrasi. Dengan sistem informasi yang terpasang, setiap barang sitaan, baik di kejaksaan, kepolisian, maupun imigrasi, bisa dipantau dengan jelas. "Ini sangat penting untuk memastikan akuntabilitas dalam penegakan hukum," tuturnya.
Dia juga menyoroti persoalan lemahnya administrasi di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Kasus ijazah palsu, misalnya, merupakan gambaran nyata buruknya pengelolaan data di tingkat administratif. "Sejak 2004 hingga 2024, perkara di Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan ijazah meningkat tajam. Ini menunjukkan bahwa ijazah menjadi alat politik yang sering disalahgunakan," ungkapnya.
Panggilan untuk Reformasi Besar-Besaran
Dengan kembali ke pengembalian Rp13,25 triliun dari kasus CPO, Jimly berpendapat bahwa ini seharusnya menjadi panggilan bagi semua aparat negara untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap administrasi yang ada. "Kita perlu perbaikan besar-besaran. Kualitas pelayanan publik harus ditingkatkan agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat pulih," katanya.
Dari hasil ekspose pengembalian oleh Kejagung, ada harapan baru bahwa berbagai masalah dalam sistem administrasi yang sebelum ini dianggap sulit diubah, dapat diperbaiki. Untuk itu, kerja sama dan komitmen dari semua pihak sangat diperlukan. Jimly menegaskan, "Publik perlu lebih banyak informasi mengenai barang sitaan. Kita harus bertanya, ke mana barang-barang tersebut setelah disita?"
Membangun Kepercayaan Masyarakat
Saat ini, dengan pengembalian yang signifikan ini, masyarakat diharapkan dapat melihat langkah konkret dari pemerintah untuk melawan korupsi. Jimly menekankan pentingnya keterbukaan informasi, dan mendesak agar setiap sitaan, baik barang maupun uang, bisa terpantau oleh publik. "Keputusan ini memberikan harapan bahwa ke depannya, tindakan serupa dapat dilakukan untuk menyelamatkan aset negara lainnya," ujarnya.
Upaya untuk memperbaiki administrasi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum menjadi imperatif untuk mengekang praktik korupsi yang selama ini marak. Pengembalian ini bukan sekadar angka, tetapi juga refleksi dari daya juang pemerintah dalam melawan ketidakadilan. Jimly berharap momentum ini bisa menjadi titik awal untuk melakukan pembaruan yang lebih baik di masa mendatang.
Source: nasional.sindonews.com





