Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Bestari Barus, baru-baru ini menanggapi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia. Dalam pandangannya, penilaian terhadap Soeharto harus dilakukan secara komprehensif, mempertimbangkan kontribusinya yang signifikan terhadap pembangunan bangsa. Menurutnya, penting untuk melihat sosok Soeharto tidak hanya dari sisi kontroversi, tapi juga dari prestasi yang telah dicapai semasa kepemimpinannya.
“Bangsa Indonesia perlu menilai Soeharto secara utuh. Ia adalah bagian dari sejarah yang tidak bisa dihapus. Soeharto berhasil membawa Indonesia menuju stabilitas ekonomi, swasembada pangan, dan pembangunan infrastruktur yang besar,” ujar Bestari. Pernyataan ini menyoroti pentingnya mengingat capaian-capaian yang terjadi di masa Orde Baru, sekaligus mengajak masyarakat untuk tidak hanya memfokuskan pandangan pada konflik dan kontroversi yang meliputi era tersebut.
Di sisi lain, Bestari juga memberikan kritik kepada beberapa politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menolak ide untuk mencalonkan Soeharto sebagai pahlawan. Ia menyatakan bahwa penilaian subjektif dari sebagian kecil individu tidak seharusnya mempengaruhi keputusan resmi pemerintah. “Saya percaya pemerintah memiliki mekanisme yang tidak sempit dalam menilai gelar pahlawan. Tim penilai tentu sudah melakukan penelitian yang mendalam,” tambahnya.
Dalam konteks ini, Bestari menanggapi pernyataan yang mempertanyakan “apa hebatnya Soeharto?” dengan nada menolak. Ia berpendapat bahwa pencapaian Soeharto dalam menanggulangi Gerakan 30 September yang disebutnya sebagai ancaman serius bagi keutuhan bangsa menjadi salah satu alasan kuat mengapa Soeharto layak dihormati. Tanpa tindakan tegas saat itu, ia berargumen, sejarah Indonesia bisa jadi berbeda.
Bestari juga menekankan perlunya masyarakat untuk belajar dari masa lalu dengan cara yang lebih proporsional, bukan dengan pendekatan yang dibayangi oleh dendam politik. Ia mengingatkan bahwa evaluasi terhadap Soeharto yang terus dikaitkan dengan luka politik tahun 1965 dan era Orde Baru menunjukkan ketidaksiapan untuk berdamai dengan sejarah. “Reformasi sudah berlalu lebih dari dua dekade. Sudah saatnya kita melihat kembali sejarah dengan pikiran yang jernih,” jelasnya.
Lebih dalam lagi, Bestari berharap bahwa bangsa Indonesia dapat menjauh dari kebencian lama dan tetap waspada terhadap ideologi yang pernah mengancam negara. Ia mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga sejarah, agar tidak ada pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan dasar negara berkembang. “Semoga ke depan tidak ada lagi pemikiran-pemikiran PKI yang berkembang di Indonesia. Kita harus terus melangkah maju sambil menghormati sejarah,” pungkasnya.
Dalam diskursus politik saat ini, polemik mengenai pengakuan terhadap tokoh sejarah seperti Soeharto memang selalu menjadi isu yang sensitif. Banyak pihak yang memiliki pandangan berbeda berdasarkan pengalaman dan interpretasi mereka. Namun, suara-suara seperti Bestari Barus diharapkan dapat memberikan perspektif alternatif yang dapat memperkaya debat publik.
Melihat ke depan, penting bagi bangsa ini untuk melakukan refleksi atas sejarah tanpa terjebak dalam narasi yang membagi atau menciptakan permusuhan baru. Dengan mengakui kontribusi dan mencapai keseimbangan dalam penilaian terhadap sosok-sosok sejarah, masyarakat dapat menciptakan ruang untuk rekonsiliasi dan gerakan maju bersama. Melalui proses ini, pemahaman yang lebih baik tentang masa lalu diharapkan dapat membantu menciptakan masa depan yang lebih baik dan harmonis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Source: www.suara.com





