Komisi III DPR bersama pemerintah telah menyelesaikan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). RUU ini ditargetkan untuk disahkan dalam sidang paripurna yang berlangsung pada pekan depan. Pembahasan RUU KUHAP sudah dimulai sejak Maret 2025. RUU ini menjadi sangat krusial karena berkaitan dengan penerapan KUHP baru yang akan efektif mulai 2 Januari 2026.
Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan bahwa penting untuk merevisi KUHAP sebelum KUHP baru mulai berlaku. Tanpa pengesahan RUU ini, penegak hukum akan kehilangan legitimasi untuk melaksanakan penegakan hukum secara efektif. Setiap anggota DPR menyetujui untuk membawa RUU tersebut ke sidang paripurna.
Dalam rapat yang diadakan, terdapat 14 substansi utama yang dibahas. Pertama, penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum yang ada. Kedua, penekanan pada nilai-nilai restoratif dan rehabilitatif dalam proses hukum. Ketiga, penegasan peran antara berbagai pihak dalam sistem peradilan.
Selanjutnya, perbaikan kewenangan penyidik dan penuntut umum juga menjadi fokus. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, serta perlindungan saksi dan korban merupakan aspek yang juga mendapat perhatian. RUU ini berupaya memberikan perlindungan khusus bagi kelompok rentan, termasuk anak dan penyandang disabilitas.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengungkapkan keprihatinan. Mereka menilai proses pembahasan RUU terlalu terburu-buru. Menurut mereka, masih ada banyak pasal yang bermasalah. Hal ini mencakup pasal yang dinilai rawan penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Khususnya mengenai pasal yang mengatur kewenangan penyidik dalam melakukan penangkapan. Pasal ini dianggap memberi peluang untuk penjebakan. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai penggunaan kewenangan untuk penyadapan tanpa izin hakim. Hal ini berpotensi melanggar hak privasi warga negara.
Salah satu isu yang disoroti adalah mekanisme keadilan restoratif. Meski tujuan mekanisme ini baik, pelaksanaannya harus benar-benar diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah baru. Koalisi meminta agar draf RUU KUHAP ditarik kembali untuk mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil.
Adanya ketentuan yang memungkinkan aparat melakukan penangkapan tanpa dasar bukti juga menuai kritik. Proses hukum yang seharusnya melindungi hak-hak individu kini dikhawatirkan hanya akan melahirkan praktik kesewenang-wenangan.
RUU KUHAP akan menjadi pijakan penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat perlu terlibat dalam pengawasan dan evaluasi pasal-pasal yang ada. Konsekuensi dari pengesahan RUU ini akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Penting untuk memastikan bahwa semua regulasi yang ada tidak hanya memenuhi kebutuhan hukum, tetapi juga menciptakan keadilan. Dalam sistem hukum yang ideal, tidak boleh ada satu pun elemen yang merasa terpinggirkan atau terancam.
Pengesahan RUU KUHAP diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam sistem peradilan pidana. Namun, jika ada pasal-pasal yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, masyarakat harus tetap bersuara. Teruskan pengawasan terhadap proses ini agar keadilan dapat ditegakkan secara merata.
Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com




