Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini memeriksa tiga pramusaji yang bertugas di rumah dinas Gubernur Riau, Abdul Wahid. Penyelidikan ini terkait dugaan perusakan segel KPK yang terjadi di kediaman resmi gubernur tersebut. Selain ketiga pramusaji, dua pejabat publik lainnya juga diperiksa, yakni Rifki Dwi Lesmana dari Dinas PUPR dan Hari Supristianto dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau.
Pemeriksaan ini merupakan bagian dari penyidikan lebih lanjut dalam kasus yang melibatkan Gubernur Abdul Wahid, yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan terhadap Abdul Wahid terjadi pada 3 November 2025, melalui operasi tangkap tangan (OTT). Kasus ini terfokus pada dugaan pemerasan terkait penambahan anggaran untuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan di Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau.
Latar Belakang Kasus
Abdul Wahid diduga meminta fee sebesar 5 persen dari total tambahan anggaran proyek, dengan target pengumpulan mencapai Rp7 miliar. Istilah internal yang digunakan dalam praktik ini adalah "jatah preman". Uang tersebut dikumpulkan dari enam UPT jalan dan jembatan melalui metode setoran tunai dan transfer.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa penyidik tidak hanya mencari tahu tentang perusakan segel, tetapi juga membongkar praktik korupsi yang lebih luas. Penyidikan ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa KPK sangat serius dalam menindaklanjuti setiap indikasi perilaku korupsi di kalangan pejabat publik.
Proses Pemeriksaan
Dalam pemeriksaan ini, KPK memfokuskan perhatian pada pernyataan dan keterlibatan para pramusaji. Mereka diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di rumah dinas gubernur. Menurut Budi, hal ini dilakukan untuk melengkapi bukti dalam kasus ini.
Pemeriksaan terhadap para pramusaji diharapkan dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai kondisi di lapangan dan kemungkinan keterlibatan pihak lain. Masyarakat menyambut baik langkah KPK yang transparan dalam proses pemeriksaan ini.
Penanganan Hukum
Para tersangka dalam kasus ini terancam dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 12e, 12f, dan 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mereka juga bisa dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KPK berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini dan menghadirkan para pelanggar hukum ke pengadilan.
Pentingnya Transparansi
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat publik seperti Gubernur Riau ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran. Masyarakat berharap kasus ini menjadi momentum untuk mendorong akuntabilitas di semua tingkatan pemerintahan.
Kehadiran media dalam setiap perkembangan kasus ini juga sangat krusial. Ini membantu menjaga kontrol publik dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai proses hukum yang sedang berjalan. Kita semua berhak tahu tentang bagaimana dana publik dikelola dan digunakan.
Dengan demikian, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK tidak hanya memiliki imbas hukum, tetapi juga dampak sosial yang lebih luas. Hal ini mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi tindakan pejabat publik demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Ketegasan KPK dalam menangani kasus ini mengindikasikan bahwa tidak ada satu pun yang kebal hukum, termasuk pejabat tinggi sekalipun.
Baca selengkapnya di: www.suara.com




