Kubu Bonatua Silalahi menyoroti keanehan dalam salinan ijazah Joko Widodo (Jokowi) dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka mengungkapkan bahwa ada sembilan informasi yang disensor oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Informasi tersebut, menurut mereka, seharusnya bisa diakses oleh publik.
Sembilan informasi yang disensor mencakup berbagai data penting seperti nomor kertas ijazah, nomor ijazah, nomor induk mahasiswa, serta informasi pribadi seperti tanggal dan tempat lahir. Selain itu, terdapat pula tanda tangan pejabat legalisasi dan Rektor UGM yang juga disembunyikan. Hal ini memicu pertanyaan mengenai alasan di balik tindak lanjut KPU terkait dokumen tersebut.
Abdullah Alkatiri, kuasa hukum dari kubu Bonatua, menegaskan bahwa alasan KPU untuk menyensor informasi ini tidak berdasar pada undang-undang yang jelas. Dia mengatakan bahwa keputusan KPU lebih didasarkan pada asumsi ketimbang ketentuan hukum yang sebenarnya. “Uji konsekuensi itu bukan hanya sekadarnya. Ini harus dibuktikan,” kata Alkatiri, menekankan pentingnya transparansi dalam proses ini.
KPU membela tindakannya dengan menekankan pentingnya melindungi data pribadi Jokowi. Mereka menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian menjadi landasan dalam keputusan untuk menghitamkan sembilan informasi ini. Menurut pihak KPU, langkah ini dilakukan demi melindungi privasi individu, sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sementara itu, dalam sidang di Komisi Informasi Pusat (KIP), hakim meminta KPU untuk melakukan uji konsekuensi. Tuntutan itu muncul untuk memastikan bahwa keputusan KPU tidak hanya berbasis asumsi, tetapi juga disertai argumen yang kuat serta data yang mendukung.
Di ujung perdebatan, kuasa hukum Bonatua juga mengingatkan bahwa sebelumnya pernah ada foto ijazah Jokowi yang beredar tanpa adanya informasi yang disembunyikan. Politisi Partai Solidaritas Indonesia, Dian Sandi Utama, pernah membagikan foto tersebut di media sosial. Dalam unggahan itu, informasi lengkap tertulis jelas.
KPU tetap pada pendiriannya. Mereka argumentasikan bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjaga integritas dan privasi Jokowi sebagai tokoh publik. Mereka bersikeras bahwa langkah ini adalah bagian dari tanggung jawab mereka sebagai badan publik.
Dalam sidang tersebut, perwakilan KPU menekankan bahwa keputusan untuk menyensor informasi mencakup semua aspek yang terkait dengan privasi. Hal ini menjadi bagian dari komitmen lembaga untuk melindungi data pribadi publik serta memenuhi kewajiban hukum.
Tidak hanya itu, KPU juga dituntut untuk menghadirkan dokumen yang relevan dalam pertemuan selanjutnya. Hal ini untuk memperkuat posisi mereka dalam sengketa informasi ini. Tindakan ini menciptakan dinamika yang menarik dalam proses hukum yang tengah berlangsung.
Bagaimanapun, polemik ini menciptakan perhatian publik yang cukup besar. Banyak pihak yang ikut menyoroti isu ini, termasuk para pengamat hukum dan politik. Mereka menunggu keputusan selanjutnya yang akan diambil oleh KPU dalam konteks transparansi informasi publik.
Dengan perdebatan yang masih bergulir, penting bagi pihak terkait untuk menanggapi dengan bijak. Uji konsekuensi diharapkan dapat memberikan pencerahan mengenai alasan di balik keputusan KPU yang banyak dipertanyakan. Dinamika yang terjadi di harap bisa melahirkan praktik yang lebih transparan dalam pengelolaan informasi publik ke depan.
Baca selengkapnya di: www.inews.id




