Eks Sekjen Ungkap Pelepasan 1,6 Juta Ha Hutan Era Zulhas: Tata Ruang atau Sinyal Sawit?

Pelepasan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektar di masa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Zulhas) menimbulkan banyak spekulasi. Eks Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, menjelaskan bahwa keputusan ini murni berkaitan dengan tata ruang dan bukan untuk memberikan izin bagi korporasi sawit.

Dalam dua Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan, yakni SK 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014, Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa pelepasan lahan tersebut bertujuan untuk perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. “Pelepasan ini seluas 1.638.294 hektar,” ujar Hadi Daryanto, menekankan bahwa keputusan ini lebih kepada keperluan strategis tata ruang provinsi.

Dokumen resmi menyebutkan bahwa langkah pemerintah pusat diambil untuk mengakomodasi usulan dari pemerintah daerah. Usulan tersebut datang dari gubernur, bupati, wali kota, hingga masyarakat di Provinsi Riau yang perlukan kepastian ruang untuk pembangunan. Bukan hanya untuk kepentingan korporasi, keputusan ini juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal.

Terdapat tiga tujuan utama dari pelepasan kawasan hutan ini. Pertama, untuk pemukiman penduduk, yang meliputi kawasan desa dan perkotaan. Kedua, untuk fasilitas sosial dan umum, seperti jalan, sekolah, tempat ibadah, dan rumah sakit, yang sebelumnya berada di lahan hutan. Ketiga, lahan garapan masyarakat untuk pertanian dan perkebunan yang telah dikelola secara turun-temurun.

Hadi Daryanto mengungkapkan bahwa revisi tata ruang sesuai dengan UU 27/1992 telah membuat provinsi di Indonesia mengajukan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Provinsi Riau, misalnya, menetapkan Peraturan Daerah No.10/1994 untuk mengalokasikan ruang non-kawasan hutan seluas 4,34 juta hektar.

Setelah diteliti lebih lanjut oleh Tim Penilai, perubahan kawasan hutan menjadi non hutan direkomendasikan 2,726,901 hektar. Namun, berdasarkan otoritas manajemen, hanya 1,6 juta hektar yang ditetapkan untuk kebutuhan tata ruang. “Ini jelas lebih kecil dari usulan awal dan tidak mendukung kepentingan korporasi,” tambahnya.

Dengan adanya revisi ini, warga yang tinggal di area tersebut tidak lagi dianggap okupasi ilegal. Hadi menegaskan bahwa keputusan ini memberikan kepastian hukum bagi ribuan warga. Tanpa pengaturan kembali tata ruang, mereka tak memiliki jaminan tempat tinggal yang sah.

Dokumen SK yang diterbitkan menggambarkan wilayah yang dilepaskan status hutannya untuk kepentingan yang lebih luas. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut lebih berorientasi pada keberlanjutan dan pengembangan masyarakat, alih-alih mensejahterakan korporasi besar.

Sekali lagi, Hadi menekankan bahwa keputusan ini bukanlah tentang memberi ruang bagi pengusaha. Justru, ini mendukung kebutuhan mendesak akan pengembangan infrastruktur di Riau, termasuk pemekaran kota dan kabupaten yang berkelanjutan.

Situasi ini menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, berupaya menciptakan keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan pembangunan. Pengelolaan hutan merupakan hal krusial. Maka dari itu, keputusan yang diambil harus memikirkan dampak bagi masyarakat luas.

Keberadaan lahan yang lebih terbuka bagi pemukiman, fasilitas umum, dan pertanian diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Ini melakukan sinergi dengan kebutuhan akan ruang hidup yang layak bagi penduduk setempat.

Semua langkah ini menjadi bagian dari upaya untuk merespons dan mengantisipasi tuntutan pembangunan yang semakin kompleks dan dinamis. Sehingga, aspek lingkungan sekaligus kepentingan sosial bisa terintegrasi dengan baik dalam kebijakan tata ruang di masa mendatang.

Berita Terkait

Back to top button