Banjir yang melanda Aceh pada 26 November lalu telah mengundang perhatian luas. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, menyebut bencana ini sebagai ‘tsunami kedua’ bagi daerah tersebut. Dua pernyataan ini menggambarkan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh bencana ini.
Hujan yang mengguyur Aceh selama sembilan hari berturut-turut menciptakan kondisi yang sangat buruk. Menurut Mualem, tidak hanya harta benda yang hilang, tetapi juga nyawa banyak orang. “Hujan yang lebih kurang delapan hari itu telah menyebabkan dampak yang luar biasa,” katanya dalam sebuah wawancara. Kematian, kerusakan infrastruktur, dan kehilangan material adalah beberapa aspek yang sangat terasa bagi masyarakat.
Kondisi di Lapangan
Meskipun banjir dan tsunami adalah bencana alam yang berbeda, Mualem melihat ada beberapa kesamaan dalam dampaknya. Ia menjelaskan bahwa dalam kasus tsunami, keadaan biasanya pulih dalam waktu singkat. Sebaliknya, banjir kali ini menciptakan kondisi yang berbeda. “Ini bukan bencana yang selesai dalam 20 menit,” katanya. Air yang menggenang berwarna hitam dan mengandung bau yang tidak sedap, memperlihatkan dampak yang lebih kompleks.
Lebih lanjut, Mualem mengungkapkan bahwa sejumlah hewan – termasuk ular dan biawak – ditemukan mati akibat banjir ini. Kematian massal hewan-hewan tersebut menambah keanehan situasi yang terjadi. “Kami melihat binatang-binatang yang seharusnya tidak mati di habitatnya,” ujar Mualem.
Dampak Sosial dan Kemanusiaan
Jumlah korban jiwa juga menjadi perhatian penting. Saat banjir melanda, banyak mayat ditemukan mengapung di air. Menurut Mualem, ada waktu ketika mayat-mayat tersebut tak bisa dimakamkan dengan baik. “Mayat-mayat tersebut diikat di pokok kayu karena tidak ada area untuk pemakaman,” ungkapnya. Ini menunjukkan bahwa bencana ini tidak hanya melanda harta benda tapi juga menambah beban emosional bagi keluarga yang kehilangan.
Bangunan yang hancur juga menjadi sorotan utama. Mualem menjelaskan bahwa banjir ini menghancurkan banyak rumah kayu, tidak menyisakan apapun. “Rumah kayu hancur total, tidak tersisa sedikitpun,” katanya. Kerusakan ini menciptakan tantangan baru dalam pemulihan pasca-bencana.
Kritik terhadap Penanganan Banjir
Kondisi ini diperburuk oleh respons yang lambat dari pihak berwenang. Mualem juga mencatat bahwa ada sejumlah oknum pejabat daerah yang tampak tidak mengindahkan situasi serius ini. “Ada bupati yang terlihat berkaraoke saat bencana terjadi,” ujarnya. Ini membuktikan bahwa tidak semua pihak terlibat aktif dalam penanganan bencana.
Masyarakat Butuh Dukungan
Dalam situasi seperti ini, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat umum. Mualem menyerukan kerjasama dan sinergi untuk mengatasi masalah ini secara kolektif. “Kita perlu dukungan semua elemen untuk berdiri kembali,” katanya.
Melihat dampak yang terjadi, penting bagi kita memahami kompleksitas bencana ini. Banjir Aceh kali ini bukan hanya soal banjir biasa, tetapi telah menjadi fenomena sosial yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Keterlibatan semua pihak menjadi kunci untuk pemulihan dan pembangunan kembali daerah yang terdampak. Respons cepat dan tepat, serta kesadaran akan dampak jangka panjang, akan sangat menentukan masa depan Aceh pasca-banjir.





