Michael Conlan, seorang petinju profesional asal Irlandia, memanfaatkan popularitasnya yang melonjak setelah mengalami kontroversi di Olimpiade Rio 2016. Dalam semifinal tersebut, ia mengalami kekalahan yang sangat diperdebatkan melawan Vladimir Nikitin, yang menyebabkan ia kehilangan medali emas. Gestur jari tengah yang ia tunjukkan kepada juri kini menjadi bagian dari identitasnya di dunia tinju. Menurut Conlan, dunia tinju profesional lebih keras dibandingkan dengan sistem amatir yang pernah ia jalani.
Conlan memiliki rekor pertarungan 19-3, dengan sembilan kemenangan melalui knockout. Ia melakoni debut pertarungan profesionalnya di Dublin pada 5 September melawan Jack Bateson di 3Arena. Ketua asosiasi tinju internasional saat itu, AIBA, mengalami krisis kredibilitas akibat investigasi yang dilakukan oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) terkait pengelolaan tinju di Olimpiade. AIBA pun diubah menjadi IBA sebagai upaya untuk memperbaiki citra mereka.
Menyikapi sistem yang ada, Conlan mengkritik bahwa dalam tinju profesional, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seorang petinju. “Keputusan juri, dukungan promosi, dan bahkan penggunaan obat terlarang dapat mempengaruhi hasil akhir,” jelasnya kepada BoxingScene. Ia menekankan bahwa di level amatir, kekalahan tidak memiliki dampak finansial yang signifikan seperti di level profesional. “Di tinju amatir, Anda bisa kalah dan kembali bertarung minggu depan, sedangkan di level profesional, satu kekalahan dapat memengaruhi pendapatan Anda secara drastis,” tuturnya.
Setelah Rio, Conlan menyadari bahwa dampak dari gestur jari tengahnya jauh lebih besar daripada sekadar protes. Ia mengakui bahwa ketenaran yang diperolehnya berkat kejadian tersebut memberinya peluang yang lebih baik untuk menghasilkan uang di dunia tinju. “Apa yang sebenarnya terjadi di Rio, meski saya tidak mendapatkan medali emas, membuat saya lebih dikenal daripada jika saya menang,” ungkapnya.
Konsekuensi dari protes tersebut juga membuatnya semakin terkenal di kalangan penggemar tinju. Banyak publik yang mengaitkan jari tengahnya dengan pendiriannya dalam melawan sistem yang dianggapnya tidak adil. “Meskipun itu bukan sesuatu yang ingin saya lakukan untuk mendapatkan uang, tetapi tetap saja, itu yang membuat orang mengenal saya,” tambah Conlan.
Menyusuri kembali perjalanan kariernya, Conlan mengungkapkan bahwa kenangan dari empat tahun di amatir padanya bukanlah kesalahan. Justru, periode itu sangat membantu dalam merintis jalur kesuksesannya di dunia profesional. “Dengan cara ini, saya mampu menjual habis arena pada debut saya, sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi jika saya adalah peraih medali emas,” katanya.
Menghadapi pertempuran di ring, Conlan kini memilih untuk tidak terjebak dalam gimmick jari tengahnya. Ia berusaha melepaskan diri dari penanda tersebut meskipun masih banyak yang meminta foto dirinya dengan gestur tersebut. “Saya ingin dikenal sebagai petinju, lebih dari sekadar jari tengah tersebut,” paparnya.
Saat bersiap untuk pertarungan berikutnya di 3Arena, Conlan bertekad untuk memanfaatkan ketenaran yang telah ia raih untuk menghadapi tantangan di depan. Ia berharap petinju lain dapat belajar dari pengalamannya dan menghindari jebakan serupa di dunia profesional yang penuh risiko. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan, “Saya ingin agar mereka tahu bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh deretan kemenangan, tetapi juga oleh bagaimana menghadapi setiap aspek dari olahraga ini.”
Dengan kehadiran Conlan di ring, penonton dapat menyaksikan evolusi seorang petinju yang berawal dari controversy menjadi simbol keteguhan dalam dunia tinju profesional.





