FIFA Tak Sanksi Israel: Mampu Hukum Rusia Masih Jadi Perdebatan Pasca FA Palestina

Presiden FIFA, Gianni Infantino, baru-baru ini melakukan pertemuan dengan Presiden Federasi Sepak Bola Palestina (PFA) Jibril Rajoub di markas FIFA, Zurich, pada 2 Oktober 2025. Pertemuan ini menjadi sorotan karena Rajoub mendesak FIFA untuk mengambil tindakan tegas terhadap Israel, yang dituduhnya melakukan genosida di Gaza dalam dua tahun terakhir. Namun, Infantino mengisyaratkan bahwa FIFA tidak akan menghukum Israel, menegaskan bahwa badan sepak bola dunia tersebut tidak dapat mencampuri masalah geopolitik.

Infantino menyampaikan komitmen FIFA untuk menggunakan kekuatan sepak bola sebagai alat pemersatu di tengah konflik yang terjadi di seluruh dunia. Dalam pernyataannya ia menyatakan, “FIFA tidak dapat menyelesaikan masalah geopolitik, tetapi dapat dan harus mempromosikan sepak bola dengan memanfaatkan nilai-nilai pemersatu, pendidikan, budaya, dan kemanusiaan.” Pernyataan ini menggambarkan sikap FIFA untuk tetap menjadi lembaga yang fokus pada penyebaran nilai-nilai positif yang dibawa oleh olahraga.

Namun, sikap FIFA ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak. Banyak yang menilai tindakan FIFA terhadap Rusia dan Israel menunjukkan ketidak konsistenan. Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, FIFA dan UEFA dengan cepat menjatuhkan sanksi berat, termasuk melarang tim nasional dan klub Rusia dari semua kompetisi internasional. Di sisi lain, tindakan serupa tidak diambil terhadap Israel meskipun ada desakan yang kuat dari PFA dan berbagai organisasi lainnya.

Penentangan ini menjadi semakin kuat ketika membandingkan berbagai respons FIFA terhadap konflik yang berbeda. Ketika Rusia dilarang dari kompetisi internasional, klub-klub Eropa dan federasi lainnya, seperti federasi Inggris, Polandia, dan Swedia, juga menolak untuk bertanding melawan tim Rusia. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tekanan politik yang lebih kuat terhadap Rusia dibandingkan dengan Israel.

Infantino juga memuji PFA atas ketahanan yang mereka tunjukkan dalam situasi sulit yang dihadapi. Ia mengecam kekerasan dan mempertegas bahwa FIFA berkomitmen untuk mendukung perdamaian dan persatuan dalam konteks yang lebih luas. Namun, analisis kritis terhadap pernyataan ini menunjukan bahwa FIFA mungkin lebih tertekan oleh geopolitik dan kebutuhan untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara yang memiliki pengaruh besar, menciptakan ketidakadilan dalam penegakan norma-norma olahraga.

Desakan untuk sanksi terhadap Israel kembali menguat pasca pernyataan Infantino. Berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia, mengecam FIFA atas ketidakberaniannya dalam menegakkan standar yang sama untuk semua anggota. Banyak yang yakin bahwa jika FIFA tidak bertindak, mereka akan kehilangan kredibilitas sebagai lembaga global yang konon menjunjung tinggi nilai-nilai fair play dan keadilan.

FIFA mengakui tantangan yang dihadapi di wilayah konflik, tetapi banyak mempertanyakan efektivitas pendekatan yang diambil. Mengedepankan nilai-nilai pemersatu memang penting, namun di saat yang sama, langkah konkret dan tindakan nyata harus diambil untuk mendukung keadilan dan mengatasi ketidakadilan.

Kritik terhadap sikap FIFA juga muncul dari analisis akademisi dan pengamat olahraga yang berpandangan bahwa badan tersebut telah membuat kesalahan fatal dalam mengelola situasi ini. Banyak yang berpendapat bahwa FIFA seharusnya lebih berani dalam menanggapi isu-isu yang berpotensi mengancam integritas olahraga dan hak asasi manusia.

Kondisi ini menunjukkan bahwa FIFA kini berada dalam posisi yang sulit, terjebak antara tuntutan politik dan komitmen untuk menggunakan sepak bola sebagai alat perdamaian. Keputusan-keputusan yang diambil oleh FIFA di masa mendatang akan sangat menentukan bagaimana mereka dipersepsikan oleh dunia, baik sebagai pengurus sepak bola maupun sebagai lembaga yang berkomitmen untuk keadilan sosial dan kemanusiaan.

Source: www.viva.co.id

Berita Terkait

Back to top button