Kemiri, yang selama ini dikenal sebagai bumbu dapur tradisional, kini mulai bertransformasi menjadi sumber energi berkelanjutan yang menjanjikan. Tanaman ini, yang tumbuh subur di Sulawesi serta di berbagai daerah tropis lainnya, sedang dikembangkan sebagai bahan bakar untuk pesawat terbang. Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya energi ramah lingkungan, perkembangan ini menawarkan solusi konkret terhadap tantangan emisi karbon yang tinggi di sektor penerbangan.
Kolaborasi riset antara Universitas Hasanuddin (Unhas) dan University of Hawai’i menjadi langkah strategis dalam mengembangkan kemiri sebagai Sustainable Aviation Fuel (SAF). Rektor Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa, dalam sambutannya menyatakan bahwa kerja sama ini merupakan kontribusi nyata perguruan tinggi dalam mendukung riset energi terbarukan. “Kami yakin riset ini akan memperkaya pengembangan teknologi dan memberi dampak positif terhadap lingkungan serta masyarakat,” ujarnya.
Kemiri memiliki potensi yang besar sebagai bahan baku bioavtur, alternatif pengganti avtur konvensional yang selama ini digunakan dalam penerbangan. Menurut Prof. Scott Q. Turn dari Hawaii Natural Energy Institute, pengembangan SAF ini tidak hanya memberikan efisiensi energi, tetapi juga mengembalikan kemandirian energi lokal. “Potensi kemiri di Sulawesi sangat besar. Ini bisa menjadi solusi nyata bagi pengurangan emisi dan peningkatan ekonomi masyarakat,” tambahnya.
Biji kemiri mengandung 60-70% minyak nabati, yang dapat diolah menjadi bahan bakar pesawat. Proses ini berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan, sejalan dengan tren global untuk menekan emisi karbon di sektor penerbangan. Selain itu, pohon kemiri memiliki karakteristik unik yang menjadikannya sebagai pilihan yang ramah lingkungan. Tumbuhan ini dapat tumbuh di lahan marginal dan tidak bersaing dengan tanaman pangan, sehingga penanamannya tidak akan mengganggu ketahanan pangan.
Salah satu hal menarik dari kemiri adalah kemampuannya berkontribusi pada konservasi tanah dan air, serta mendukung keberagaman ekosistem. Peneliti Dr. Wendy Aritenang menekankan bahwa “ini bukan hanya soal bahan bakar. Ini tentang bagaimana kita menyatukan sektor pertanian, kehutanan, dan energi terbarukan.” Dengan sifatnya yang dapat tumbuh di tanah kurang subur, kemiri bisa menjadi komoditas strategis nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Kolaborasi antara Unhas dan University of Hawai’i bukan hanya berhenti di penelitian. Salah satu langkah konkret adalah rencana penanaman kemiri di kawasan hutan pendidikan Unhas untuk memulai implementasi riset ini. Ini diharapkan bisa menghasilkan strategi lanjutan yang sesuai dengan kebijakan agar hasil riset dapat diterapkan langsung di lapangan.
Pengembangan kemiri sebagai bahan bakar pesawat juga membuka peluang bagi ilmuwan dan praktisi untuk menjembatani dunia ilmu pengetahuan dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan mendukung komoditas lokal, Indonesia berpeluang menunjukkan bahwa solusi hijau untuk masa depan dapat dimulai dari dalam negeri. Kemiri bukan lagi sekadar bumbu dapur; kehadirannya diharapkan turut memberi harapan baru untuk langit yang lebih bersih serta energi yang berkelanjutan.
Pohon kemiri, atau Aleurites moluccanus, merupakan pohon tropis yang tumbuh cepat dan mampu mencapai tinggi 15-25 meter. Daunnya yang berbentuk lebar dan buah yang bulat mengandung biji kaya minyak. Setiap biji kemiri sangat berpotensi untuk diolah, tidak hanya menjadi bahan baku energi tetapi juga untuk industri kosmetik dan makanan. Hal ini membuat kemiri sebagai tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta ramah lingkungan.
Dengan langkah strategis dan kolaborasi internasional ini, Indonesia tidak hanya menempatkan kemiri sebagai komoditas lokal tetapi juga sebagai bagian dari solusi global untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan.





