Ketika menjelajahi Jepang, banyak wisatawan yang terkejut melihat lampu lalu lintas yang seharusnya hijau justru tampak biru. Fenomena ini bukanlah masalah teknis atau kekeliruan visual, melainkan berkaitan erat dengan bahasa dan budaya Jepang. Perbedaan persepsi warna ini menarik perhatian, terutama bagi mereka yang tidak familiar dengan konteks sejarah dan linguistik Jepang.
Menurut penelitian dari IFL Science, meskipun banyak negara mengikuti standar warna lampu lalu lintas yang ditetapkan dalam Vienna Convention on Road Signs and Signals pada tahun 1968, Jepang memiliki interpretasi tersendiri. Kebijakan ini muncul karena Jepang dan Amerika Serikat tidak menandatangani konvensi tersebut, yang memungkinkan kedua negara mengadopsi pendekatan warna yang unik. Di Jepang, nuansa yang digunakan untuk lampu hijau lebih dekat ke biru atau turquoise, menciptakan kebingungan di kalangan pengunjung.
Penting untuk dicatat bahwa dalam bahasa Jepang kuno, hanya ada satu kata, yaitu "ao", yang mencakup arti biru dan hijau. Istilah "midori" yang lebih spesifik untuk hijau baru muncul belakangan. Meskipun demikian, banyak orang Jepang masih menggunakan istilah "ao" untuk menyebut lampu hijau. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kultur Jepang, warna tidak selalu dilihat secara terpisah, menciptakan penafsiran yang berbeda yang menghantarkan kepada hasil yang menarik bagi pengunjung asing.
Pada tahun 1973, pemerintah Jepang secara resmi mengatur warna lampu lalu lintas dengan menggunakan nuansa hijau yang mendekati biru. Keputusan ini bertujuan untuk menjembatani kebutuhan visual masyarakat modern sambil tetap mempertahankan tradisi linguistik yang telah berakar di masyarakat Jepang. Dengan demikian, bagi para turis, fenomena ini dapat menimbulkan kesan bahwa lampu hijau di Jepang adalah biru, namun di dalam konteks budaya Jepang, warna tersebut memang diakui sebagai tanda untuk berhenti.
Menariknya, fenomena lampu warna hijau yang tampak biru ini juga berbicara tentang hubungan antara bahasa, budaya, dan persepsi visual. Situs seperti ismy.blue pernah viral di internet dengan tantangan untuk menentukan apakah warna tertentu adalah biru atau hijau. Percobaan ini menunjukkan bahwa persepsi warna sangat subjektif dan bisa berbeda-beda, bahkan di antara komunitas yang berbagi bahasa yang sama.
Fakta bahwa masyarakat Jepang memiliki cara pandang terhadap warna yang berbeda dapat menjadi pelajaran yang berharga. Ini adalah contoh konkret tentang bagaimana bahasa dan budaya membentuk cara kita melihat dunia. Walaupun bagi orang asing lampu ini tampak keliru, bagi orang Jepang itu adalah sesuatu yang wajar dan diterima.
Melihat kenyataan ini, bagi siapapun yang berada di Jepang, sebaiknya tidak bingung dengan lampu lalu lintas yang tampak biru. Tanda tersebut secara resmi menunjukkan bahwa kendaraan dapat bergerak. Ini adalah bagian dari identitas budaya Jepang yang kaya dan kompleks, yang mengundang kita untuk memahami lebih dalam bagaimana konteks linguistik dapat memengaruhi persepsi visual.
Kesimpulan ini membawa kita pada pemahaman bahwa warna bukan hanya sekadar spektrum cahaya, tetapi juga memiliki nilai budaya dan sejarah. Di tengah globalisasi yang semakin meningkat, pemahaman tentang perbedaan budaya seperti ini menjadi semakin penting agar kita dapat saling menghargai dan menghormati keragaman yang ada di dunia. Lampu lalu lintas yang tampak biru di Jepang mengajak kita untuk tidak hanya melihat warna, tetapi juga menggali makna budaya di baliknya.
