Konflik antara Israel dan Iran kini memasuki fase baru yang menandai penggunaan teknologi dalam peperangan, terutama melalui serangan siber. Dengan kemampuan siber destruktif yang dimiliki masing-masing negara, para ahli memperkirakan bahwa intensitas serangan digital akan meningkat seiring berlanjutnya ketegangan. Ini menandakan bahwa perang tidak lagi hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di ranah dunia maya.
Perang Siber Antara Negara
Iran dan Israel, dua negara yang terlibat dalam konflik berkepanjangan, kini sadar bahwa serangan siber bisa menjadi bagian vital dari strategi perang mereka. Michael Daniel, mantan penasihat Gedung Putih dan CEO Cyber Threat Alliance, mengungkapkan bahwa kedua negara kemungkinan akan menggunakan berbagai jenis serangan siber. Ini bisa berkisar dari gangguan sementara yang disebabkan oleh serangan DDoS hingga serangan yang lebih merusak, seperti serangan wiper yang dapat menghancurkan sistem secara permanen.
Impak Serangan Ke Infrastruktur Strategis
Dari data yang dilansir oleh Google Threat Intelligence Group, aktivitas siber Iran telah menjangkau target-target di Amerika Serikat. Meskipun serangan yang dilancarkan oleh Iran dapat dibilang kurang canggih, mereka berhasil melakukan intrusi ke dalam sistem-sistem penting, seperti sistem pengelolaan air di AS. Peretas yang berafiliasi dengan Garda Revolusi Iran, yang dikenal sebagai CyberAv3ngers, berhasil mengeksploitasi kelemahan yang ada dalam perangkat kontrol industri. Namun, tantangan yang dihadapi Iran tetap ada karena belum sepenuhnya memahami potensi akses yang mereka miliki.
Potensi Respon dari AS dan China
Lebih jauh lagi, Tom Kellermann, penasihat keamanan siber, memperingatkan bahwa serangan dari Iran bisa semakin masif jika didukung oleh negara-negara yang memiliki kekuatan siber serupa, seperti Rusia dan China. Dalam scenario terburuk, jika Amerika Serikat terlibat dalam konflik, ada kemungkinan China akan memberikan dukungan siber kepada Iran. Hal ini terutama relevan mengingat ketergantungan China pada impor energi dari Iran.
Kellermann menambahkan, jika Israel menyerang infrastruktur minyak Iran, China mungkin memutuskan untuk merespons dengan serangan siber, yang dapat menambah kompleksitas situasi. Ini menunjukkan bahwa perang di dunia maya tidak hanya menjadi arena bagi dua negara, tetapi juga melibatkan kekuatan global yang lebih besar.
Evolusi Strategi Pertahanan
Israel, yang dianggap lebih tangguh dalam menghadapi serangan siber, tetap berwaspada terhadap kemungkinan serangan dari Iran. Namun, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, terutama yang terlibat dalam sektor utilitas dan infrastruktur penting, harus lebih waspada. Annie Fixler dari Foundation for Defense of Democracies mengingatkan bahwa meskipun Iran telah melakukan serangan, tingkat keberhasilan dan kecanggihan teknis mereka masih perlu diperhatikan.
Dalam konteks ini, para pakar percaya bahwa akan ada lebih banyak aktivitas siber yang ditujukan untuk menciptakan kepanikan sekaligus menguji daya tahan infrastruktur di kedua negara. Strategi operasi siber yang telah direncanakan bilamana terjadi eskalasi, tidak hanya menyasar infrastruktur vital tetapi juga privasi individu, membuat situasi menjadi lebih berbahaya.
Kesimpulan Terbuka
Dengan berkembangnya perang di dunia maya, kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi potensi ancaman yang timbul dari ketegangan geopolitik. Nilai strategis dari serangan siber dapat mengubah cara negara-negara bertikai, tidak hanya melalui misil dan pasukan di lapangan, tetapi juga melalui bit dan byte yang bisa melumpuhkan. Masyarakat internasional perlu lebih memahami dan menyikapi dinamika baru ini agar tidak menjadi korban di antara permusuhan yang terus berkecamuk.
