
Para ilmuwan kini percaya bahwa penemuan samudra tersembunyi dua mil di bawah dasar laut menjadi pemicu utama dari fenomena gempa bumi "gerak lambat" yang terjadi di Selandia Baru. Fokus penelitian ini adalah pada sebuah kawasan vulkanik purba yang telah terbentuk sekitar 125 juta tahun lalu. Penemuan ini diungkapkan ketika para peneliti berhasil menciptakan citra wilayah vulkanik tersebut melalui teknik sensor seismik 3D yang ditarik di belakang perahu.
Menurut Andrew Gase, seorang peneliti dari Institut Geofisika Universitas Texas, kerak samudra normal setelah tujuh hingga sepuluh juta tahun seharusnya mengandung sedikit air. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kerak samudra tersebut berusia sepuluh kali lebih tua dan secara mengejutkan mengandung hampir setengah volumenya berupa air. Ini menunjukkan bahwa keberadaan air dapat menjadi faktor signifikan dalam kejadian gempa bumi yang bersifat lambat di wilayah ini.
Fenomena Gempa Gerak Lambat di Selandia Baru
Garis patahan tektonik di Selandia Baru telah dikenal menghasilkan gempa bumi gerak lambat, juga disebut sebagai peristiwa pergeseran lambat. Selama kejadian ini, energi yang biasanya dilepaskan dalam gempa bumi normal terbagi menjadi periode yang lebih lama, kadang-kadang berlangsung berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Hal ini umumnya menyebabkan dampak yang minim bagi lingkungan dan masyarakat setempat.
Meskipun fenomena ini telah diamati, para ilmuwan masih mencari tahu mengapa beberapa patahan lebih sering mengalami gerakan lambat dibandingkan yang lain. Penemuan adanya air terpendam di wilayah tersebut menawarkan penjelasan yang mungkin. Selama penelitian, ilmuwan menemukan bahwa jumlah air yang terkandung dalam kerak ini dapat mempengaruhi perilaku patahan.
Peran Air Bawah Tanah dalam Gempa Bumi
Gase menyatakan, "Kami belum dapat melihat cukup dalam untuk mengetahui secara pasti bagaimana dampak air ini terhadap patahan, tetapi kami dapat mengamati bahwa aliran air ke bawah jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya." Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan baru tentang bagaimana cadangan air dapat memengaruhi fenomena longsor dan gerakan seismik di sekitarnya.
Para peneliti berharap dengan memahami bagaimana tekanan air bawah tanah beroperasi, mereka dapat lebih baik merespons dan memprediksi perilaku gempa bumi normal. Pengaruh tekanan air bisa jadi lebih besar daripada yang dikhawatirkan sebelumnya, yang dapat memfasilitasi pelepasan tekanan tektonik.
Kesimpulan dan Langkah Selanjutnya untuk Penelitian
Meskipun penemuan ini memberikan wawasan baru, para ilmuwan menegaskan perlunya pengeboran lebih dalam untuk lebih memahami di mana air tersebut berakhir dan bagaimana interaksinya dengan dinamika tektonik. Dengan informasi lebih lanjut, mereka berharap bisa merumuskan model yang lebih komprehensif mengenai perilaku gempa bumi, khususnya yang berhubungan dengan fenomena gerak lambat.
Ke depan, penelitian ini diharapkan tidak hanya dapat menjelaskan fenomena yang unik ini, tetapi juga dapat meningkatkan pemahaman kita tentang perilaku gempa bumi secara umum. Dalam skala yang lebih luas, temuan-temuan ini bisa berguna dalam mengembangkan strategi mitigasi bencana gempa bumi, terutama di kawasan-kawasan yang rawan gempa.





