Tim peneliti gabungan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuat penemuan signifikan berupa nisan kuno yang berasal dari Aceh, berumur sekitar 525 tahun. Nisan tersebut ditemukan di kompleks makam Somba Labakkang yang terletak di Kampung Lembang, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Temuan ini membuka lembaran baru dalam memahami sejarah dan budaya di wilayah tersebut, terutama terkait pengaruh Kesultanan Aceh di Sulawesi Selatan.
Nisan yang dikenal sebagai "Nisan Aceh" ini bukanlah sekadar artefak biasa; ia mencerminkan status sosial dan prestise tinggi. Menurut catatan, nisan tersebut digunakan untuk makam I La Upa Bagenda Ali Matinroe ri Sikkiri’na, seorang tokoh bangsawan yang berperan penting pada abad ke-18. Ketua tim peneliti, Profesor Muhlis Hadrawi, menjelaskan bahwa nisan tipe C ini biasanya hanya diterima oleh bangsawan tinggi yang memeluk Islam pada masa awal penyebarannya di kawasan tersebut.
Sejarah dan Nilai Budaya
Penemuan ini tidak hanya menambah koleksi artefak sejarah di Sulawesi Selatan, tetapi juga memberikan wawasan baru mengenai hubungan sosial politik antara Aceh dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Dosen Arkeologi Unhas, Hasanuddin, menegaskan bahwa nisan tipe C yang ditemukan menunjukkan adanya kedekatan budaya dan agama antara Kesultanan Aceh dengan komunitas di Sulawesi Selatan. Hubungan ini, menurutnya, meliputi aspek perdagangan, penyebaran agama, budaya, dan ikatan keluarga antar bangsawan.
"Keberadaan nisan Aceh di Sulsel sangat terbatas, hanya terdapat pada beberapa tokoh, seperti Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa," tambahnya. Nisan ini menjadi simbol pengaruh luar biasa dari tokoh yang dimakamkan serta menunjukkan pentingnya Pangkep dalam jaringan peradaban di masa lalu.
Penelitian yang Berkelanjutan
Penelitian yang dimulai pada 17 Mei ini merupakan bagian dari rangkaian studi berjudul "Penelusuran Toponimi Kuno Pesisir Sulawesi Selatan". Tim peneliti berkomitmen untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan jejak-jejak sejarah yang tersimpan di daerah, dengan harapan dapat mendorong pemerintah setempat untuk menetapkan situs penting ini sebagai cagar budaya.
Saat ini, makam Somba Labakkang belum secara resmi diakui sebagai situs cagar budaya oleh pemerintah daerah. Meski demikian, hasil temuan ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi Pemda Pangkep dan Maros untuk melindungi warisan budaya yang ada. "Penelitian ini penting tidak hanya untuk mengungkap asal-usul nama tempat tetapi juga untuk melihat dinamika budaya, politik, dan agama di masa lalu," ungkap Prof Muhlis.
Kesimpulan dan Harapan untuk Pelestarian
Nisan Aceh yang ditemukan di Kampung Lembang tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah, tetapi juga menjanjikan peningkatan perhatian terhadap pelestarian situs bersejarah di Pangkep dan wilayah Sulawesi Selatan lainnya. Tim peneliti sebelumnya juga menemukan batu nisan Aceh pertama di Maros, yang menunjukkan semakin banyaknya jejak-jejak sejarah di kawasan ini. Mereka berharap, temuan ini mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya memperhatikan dan melestarikan warisan budaya daerah.
Melalui penelitian ini, tim ingin memperkuat pengakuan terhadap warisan budaya sebagai bagian penting dari identitas Sulawesi Selatan. Dengan mengungkap sejarah yang kaya dan beragam, masyarakat dapat menghargai keberagaman yang telah membentuk perjalanan sejarah di wilayah ini.





