CEO OpenAI, Sam Altman, baru-baru ini mengungkapkan keheranannya terhadap tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap ChatGPT, meskipun teknologi kecerdasan buatan ini sering kali menghasilkan informasi yang salah atau menyesatkan. Dalam episode perdana podcast OpenAI yang dirilis pada 25 Juni 2025, Altman menyebutkan, “Orang-orang sangat percaya pada ChatGPT dan itu menarik karena AI ini suka berhalusinasi. Seharusnya ini jadi teknologi yang tidak terlalu kamu percayai.”
Fenomena ini muncul di tengah meningkatnya penggunaan AI di seluruh dunia. Banyak pengguna yang mengandalkan ChatGPT untuk berbagai keperluan, seperti riset, pekerjaan, dan nasihat pribadi. Altman bahkan mengaku telah menggunakan ChatGPT untuk mencari informasi terkait pengasuhan anaknya. Meskipun ia menemukan AI tersebut sangat membantu, ia tetap menegaskan pentingnya kewaspadaan akan risiko yang ditimbulkan oleh kepercayaan berlebihan terhadap sistem yang bisa memberikan informasi palsu dengan keyakinan tinggi.
Salah satu alasan mengapa pengguna begitu percaya pada ChatGPT adalah kemudahan penggunaan, kecepatan respons, dan gaya komunikasi yang alami. Altman menjelaskan bahwa fitur-fitur ini membuat banyak orang memperlakukan ChatGPT seolah-olah ia adalah pakar manusia atau teman dekat. Namun, ia memperingatkan bahwa ketergantungan pada informasi dari AI dapat membawa risiko, terutama di bidang-bidang sensitif seperti kesehatan, hukum, dan pendidikan.
Dalam podcast tersebut, berbagai isu penting juga dibahas, termasuk privasi data dan kemungkinan monetisasi. Altman menekankan perlunya menjaga transparansi dan perlindungan privasi pengguna meskipun fitur-fitur baru seperti memori yang berkelanjutan akan diperkenalkan.
Studi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Media Lab menunjukkan bahwa pengguna alat berbasis AI seperti ChatGPT dapat mengalami penurunan keterlibatan otak dan melemahkan kemampuan berpikir kritis, khususnya di kalangan generasi muda. Dalam studi tersebut, 54 partisipan berusia 18 hingga 39 tahun dibagi menjadi tiga kelompok untuk menulis esai SAT dengan metode yang berbeda: menggunakan ChatGPT, mesin pencari Google, dan tanpa bantuan teknologi.
Hasil studi tersebut, yang dilansir oleh TIME, menunjukkan bahwa kelompok yang menggunakan ChatGPT memiliki aktivitas otak terendah dan performa linguistik serta neurologis yang lebih buruk dibandingkan dua kelompok lainnya. Para peneliti menemukan bahwa seiring berjalannya waktu, pengguna ChatGPT cenderung lebih malas dalam penulisan dan lebih sering menyalin hasil tanpa mengolah kembali. Sebaliknya, kelompok yang menulis tanpa bantuan teknologi menunjukkan aktivitas otak paling tinggi dan lebih kreatif.
Setelah diminta untuk menulis ulang esai mereka, kelompok pengguna ChatGPT kesulitan mengingat isi esai yang sebelumnya telah mereka tulis. Hal ini menunjukkan lemahnya proses ingatan yang seharusnya terbentuk saat menulis. Di sisi lain, kelompok yang awalnya tanpa teknologi dan kini diperkenankan menggunakan ChatGPT justru menunjukkan peningkatan konektivitas otak yang signifikan ketika mengalami perubahan dalam metode penulisan.
Menurut penulis utama studi, Nataliya Kosmyna, dampak negatif penggunaan AI berlebihan sangat berpotensi memengaruhi anak-anak yang mulai menggunakan teknologi ini untuk tugas sekolah. Dia menekankan bahwa otak yang sedang berkembang adalah kelompok paling rentan terhadap efek buruk dari penggunaan AI.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang seimbang dalam penggunaan teknologi. Meskipun ChatGPT menawarkan banyak kemudahan, kepercayaan yang berlebihan dapat menghambat kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pengguna diharapkan mampu menyadari batasan AI dan tetap berpikir kritis dalam menggunakan informasi yang diberikan.
