Para pemegang saham Meta Platforms kini menggugat CEO Mark Zuckerberg dan sejumlah pemimpin perusahaan lainnya dengan tuntutan mencapai US$8 miliar atau sekitar Rp130 triliun. Gugatan ini dilatarbelakangi dugaan pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat pada 2012 antara Facebook dan Komisi Perdagangan Federal (FTC), yang bertujuan untuk melindungi data pengguna.
Kasus ini mulai diproses di pengadilan di Wilmington, Amerika Serikat, dan dijadwalkan berlangsung selama delapan hari, dimulai pada Rabu (16/07/25). Inti dari sidang ini adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 2018 ketika terungkap bahwa jutaan data pengguna Facebook telah diakses oleh Cambridge Analytica, sebuah firma konsultan politik yang bekerja untuk kampanye Donald Trump di pemilu presiden AS 2016. Meskipun pelanggaran ini terjadi beberapa tahun lalu, kekhawatiran tentang privasi di Meta terus berlanjut, terutama di tengah penyelidikan terhadap model kecerdasan buatannya.
Jason Kint, kepala Digital Content Next, mengungkapkan keraguan yang masih menghinggapi kepercayaan publik terhadap Zuckerberg. “Ada argumen bahwa kita tidak bisa menghindari Facebook dan Instagram dalam hidup kita, tetapi bisakah kita mempercayai Mark Zuckerberg?” ujarnya, mencerminkan keprihatinan yang lebih luas mengenai perlindungan data di platform Meta. Saat ini, lebih dari 3 miliar pengguna setiap hari aktif di seluruh layanan Meta, sehingga isu privasi menjadi semakin krusial.
Para penggugat, terdiri dari investor individu dan dana pensiun serikat pekerja, dihadapkan pada tantangan untuk membuktikan klaim yang dianggap sebagai salah satu yang sulit dalam hukum perusahaan. Mereka harus menunjukkan bahwa Zuckerberg dan direksi lainnya secara sadar gagal dalam menjalankan tugas pengawasan mereka terkait perlindungan privasi pengguna. Dalam konteks hukum Delaware, meskipun direktur dilindungi dari keputusan bisnis yang buruk, mereka tidak dapat menghindari pertanggungjawaban jika keputusan tersebut terbukti ilegal.
Dalam dokumen pra-peradilan, para penggugat menyatakan bahwa Meta melanjutkan praktik penipuan atas perintah Zuckerberg. Hal ini termasuk pembentukan tim pengawas privasi dan menyewa firma kepatuhan eksternal, dengan klaim bahwa Facebook merupakan korban dari “penipuan yang dipelajari” oleh Cambridge Analytica. Selain itu, ada tuduhan bahwa Zuckerberg berencana untuk menjual sahamnya demi keuntungan senilai US$1 miliar setelah mengetahui pengungkapan skandal Cambridge Analytica, yang diperkirakan akan berdampak negatif pada nilai perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Meta telah menghadapi berbagai masalah terkait privasi dan keamanan data, termasuk denda dan regulasi yang semakin ketat dari pemerintah di berbagai negara. Ini menunjukkan semakin besarnya tekanan terhadap perusahaan untuk mengatasi masalah privasi seiring dengan berkembangnya teknologi dan tingginya jumlah pengguna yang bergantung pada platform mereka.
Meskipun Zuckerberg dan petinggi lainnya sebelumnya telah berusaha untuk membatalkan kasus ini, upaya tersebut ditolak oleh hakim, yang menilai bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan dianggap cukup serius untuk dilanjutkan ke tahap persidangan. Dengan semakin banyaknya bukti dan kesaksian yang akan diajukan di pengadilan, sidang ini diharapkan dapat menyoroti lebih dalam mengenai bagaimana Meta dan pemimpinnya mengelola privasi data pengguna, serta tanggung jawab yang harus diemban oleh para pemimpin perusahaan teknologi di era digital saat ini.
Kedepannya, perkembangan kasus ini akan menjadi perhatian publik dan investor, terutama terkait dampaknya pada reputasi Meta dan potensi keuangan perusahaan di pasar global. Sebagai salah satu raksasa teknologi, langkah Meta dalam menangani masalah ini tidak hanya akan menentukan masa depan perusahaan itu sendiri, tetapi juga standar privasi bagi platform digital lainnya.
