Hari ini, Senin (7/7/2025), fenomena astronomi yang dikenal sebagai aphelion terjadi, di mana Bumi berada pada titik terjauh dari Matahari dalam orbitnya. Meskipun aphelion seringkali dianggap dapat mempengaruhi suhu dan cuaca, para ilmuwan menekankan bahwa fenomena ini tidak berhubungan dengan cuaca ekstrem yang dialami di Indonesia saat ini. Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), aphelion bukanlah penyebab utama dari kondisi cuaca yang tidak biasa.
Aphelion adalah peristiwa tahunan yang membuat jarak rata-rata Bumi dari Matahari mencapai sekitar 152.093.000 kilometer, sedangkan jarak terdekatnya, atau perihelion, sekitar 147.100.000 kilometer. Peristiwa ini terjadi hampir setiap tahun dan tidak memberi dampak yang membahayakan. Meskipun posisi Bumi saat aphelion lebih jauh dari matahari, kemiringan sumbu rotasi Bumi adalah faktor utama yang mempengaruhi suhu serta perubahan musim.
BRIN mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik dengan pengaitkan aphelion terhadap bencana atau penurunan suhu ekstrem. Masyarakat di belahan Bumi utara, contohnya, tetap mengalami musim panas meskipun jarak ke Matahari sedang maksimal. Dengan kata lain, tidak ada perubahan signifikan pada suhu udara selama fenomena ini terjadi.
Fenomena cuaca ekstrem di Indonesia saat ini justru lebih terkait dengan faktor-faktor lain seperti Monsun Australia yang melemah. Monsun ini biasanya membawa udara kering, tetapi kali ini peralihannya ke musim kemarau terganggu, menyebabkannya berjalan tidak normal. Selain itu, gelombang atmosfer seperti Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang Rossby juga berperan dalam meningkatkan instabilitas udara, yang berpotensi menyebabkan hujan lebat.
Sebagai salah satu contoh cuaca ekstrem yang terjadi, beberapa daerah di Indonesia telah mengalami curah hujan yang jauh di atas rata-rata. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan cuaca yang terjadi tidak dapat dijelaskan hanya dengan fenomena aphelion, melainkan faktor-faktor meteorologis yang lebih kompleks.
Aphelion juga menjadi pengingat bahwa orbit Bumi berbentuk elips dan bukan lingkaran sempurna. Artinya, kecepatan revolusi Bumi memperlambat sedikit saat berada di titik ini, namun tidak ada dampak signifikan terhadap panjang hari. Pengetahuan ini sejalan dengan hukum gravitasi dan gerak planet yang dijelaskan oleh Johannes Kepler.
Sekalipun aphelion dianggap menarik secara ilmiah, penting bagi masyarakat untuk tidak menyimpulkan bahwa setiap fenomena astronomi akan berdampak langsung kepada cuaca di Bumi. Pengetahuan mengenai dasar ilmiah dari fenomena-fenomena ini akan membantu masyarakat lebih memahami lingkungan mereka.
Melihat kondisi cuaca yang melanda, agaknya perubahan ini lebih disebabkan oleh interaksi berbagai elemen atmosfer daripada fenomena aphelion itu sendiri. Diharapkan, dengan klarifikasi informasi yang akurat, masyarakat tidak terbawa pada spekulasi yang bisa menambah kepanikan di tengah cuaca yang tidak menentu.
Di samping itu, perlunya kesadaran akan pengaruh berbagai faktor lain yang dapat memicu cuaca ekstrem di Indonesia menjadi hal yang krusial. Langkah-langkah mitigasi yang tepat harus dipersiapkan agar masyarakat dapat menghadapinya dengan lebih baik.





