Fenomena embun upas di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur, merupakan salah satu keindahan alam yang memukau sekaligus memberikan tantangan bagi masyarakat lokal. Setiap tahunnya, saat musim kemarau tiba, lautan pasir di sekitarnya diselimuti oleh lapisan es, yang menarik ribuan wisatawan untuk datang menyaksikan keajaiban ini. Namun, di balik pesonanya, embun upas membawa efek yang signifikan terhadap kehidupan para petani di kawasan tersebut.
Menurut data dari Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), embun upas memberikan dampak serius bagi vegetasi lokal. Suhu dingin yang dihasilkan membuat embun membeku menjadi kristal es tajam, yang dapat merusak tanaman pertanian dan dedaunan. "Bisa menyebabkan kematian dari tumbuhan yang terkena embun upas tersebut," ungkap Septi Eka Wardhani, Kepala Bagian Tata Usaha TNBTS. Efek merusak ini tidak hanya terbatas di lautan pasir Bromo, tetapi juga menjangkau area tinggi lainnya seperti Ranu Pani dan Ranu Kumbolo.
Dampak Ekonomi dari Pariwisata
Sebaliknya, meskipun menjadi tantangan bagi petani, embun upas juga berfungsi sebagai magnet bagi sektor pariwisata. Dengan lanskap Bromo yang "bersalju", kawasan ini berhasil menarik perhatian 485.696 wisatawan pada tahun 2024. Dari jumlah tersebut, hampir 20 ribu adalah wisatawan mancanegara. Kunjungan ini turut menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai Rp 21,15 miliar. Ini menegaskan potensi besar embun upas sebagai sumber ekonomi bagi kawasan ini.
Kondisi ini lantas menciptakan paradox bagi masyarakat suku Tengger yang mendiami lereng Bromo. Di satu sisi, mereka harus berhadapan dengan dampak negatif embun upas terhadap tanaman pertanian. Di sisi lain, mereka juga menyaksikan peningkatan pendapatan yang dibawa oleh wisatawan yang berbondong-bondong datang. Keseimbangan ini menjadi sebuah tantangan yang mesti dihadapi secara bijaksana.
Kearifan Lokal dalam Menghadapi Tantangan
Masyarakat Tengger, yang telah mendiami daerah ini selama berabad-abad, memiliki pemahaman mendalam mengenai siklus alam, termasuk embun upas. Dengan pengalaman yang diwariskan, mereka mengembangkan kearifan lokal untuk menghadapi tantangan ini. Pola tanam yang tepat dan penjadwalan musim menjadi strategi penting yang mereka terapkan agar tanaman tetap dapat tumbuh dengan baik meski kondisi alam tidak selalu bersahabat.
Kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi ini menunjukkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dan bertahan dalam kondisi yang kurang mendukung. Resiliensi ini tidak hanya terlihat dalam cara mereka bercocok tanam, tetapi juga dalam usaha mereka untuk menjaga budaya dan tradisi yang sudah ada. Menurut pandangan mereka, embun upas adalah bagian dari keindahan dan tantangan yang harus diterima dengan lapang dada.
Kesimpulan yang Terus Berlanjut
Embun upas di Gunung Bromo adalah sebuah cerminan dari dualitas alam—keindahan sekaligus tantangan. Ia memberi warna tersendiri bagi kawasan ini, tidak hanya dalam konteks keindahan alam tetapi juga dalam dinamika sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Dengan semangat kearifan lokal dan kemampuan adaptasi, masyarakat Tengger menunjukkan bahwa mereka mampu hidup harmonis dengan alam, meskipun dihadapkan pada tantangan yang beragam.
Kehidupan di kawasan ini adalah kisah tentang keseimbangan, adaptasi, dan denyut kehidupan yang tak berhenti di tengah keindahan yang menakjubkan. Fenomena embun upas, dengan segala tantangan dan anugerahnya, menyajikan narasi yang lebih dalam tentang hubungan manusia dengan alam di atas atap Jawa Timur.
