Model Sarah Murray Cemas Vogue dan Brand Lain Gencar Gunakan AI Iklan

Model Sarah Murray mengungkapkan kekhawatirannya terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam industri mode, terutama setelah melihat merek-merek fashion beralih ke model buatan untuk iklan. Sejak awal 2023, ketika dia melihat model digital mengenakan gaun denim di iklan Levi’s, kekhawatirannya semakin meningkat, terutama setelah Vogue mengeluarkan edisi yang menampilkan model AI dalam iklan Guess.

Murray mencatat bahwa persaingan dalam dunia modeling semakin berat, dengan tambahan tantangan dari standar kesempurnaan digital yang dapat diciptakan oleh AI. “Dunia model sudah cukup menantang tanpa harus bersaing dengan model yang sepenuhnya ditentukan oleh algoritma,” ujarnya, dilansir dari TechCrunch. Kontroversi mengenai penggunaan model AI dalam iklan ini mencuri perhatian publik, terutama karena Vogue dianggap sebagai salah satu pustaka utama bagi industri fashion dalam menetapkan norma.

Sinead Bovell, pendiri organisasi WAYE dan seorang model, juga menjelaskan dampak dari tren ini, mengindikasikan bahwa model e-commerce, yang sering kali tampil dalam iklan online, paling terancam oleh otomatisasi. Model e-commerce berperan penting dalam pemasaran, memberikan kemungkinan realistis mengenai produk yang ditawarkan. “Meskipun mereka tidak menjamin ketenaran, ini adalah sumber penghasilan penting dan bisa menjamin keamanan finansial,” jelas Bovell.

Di sisi lain, Paul Mouginot, seorang teknisi seni, mencatat bahwa bekerja dengan model manusia mengandung biaya yang tinggi. AI, menurutnya, memungkinkan berbagai produk dikenakan pada model virtual dalam berbagai pengaturan, membuat proses lebih efisien. “Kita dapat dengan mudah menghasilkan gambar seolah-olah diambil dari editorial dengan model asli,” tuturnya.

Penggunaan model buatan semakin menarik bagi merek-merek fashion karena alasan ekonomi. Amy Odell, seorang penulis mode, menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan model AI jauh lebih rendah dibanding model manusia, yang sangat relevan di era di mana kebutuhan konten semakin meningkat. Merek memerlukan banyak konten untuk iklan cetak dan media sosial, menjadikan AI sebagai solusi efisensi biaya.

PJ Pereira, pendiri perusahaan periklanan Silverside AI, menjelaskan bahwa dengan perubahan dinamika di media sosial dan e-commerce, merek kini memerlukan antara 400 hingga 400.000 konten untuk beroperasi secara efektif. “Kenaikan skala ini tidak bisa dikelola hanya dengan menyesuaikan proses, Anda memerlukan sistem baru,” ungkapnya.

Meskipun banyak pro kontra terkait penggunaan model AI, perkembangan ini merupakan geopolitik baru dalam dunia fashion. Banyak pihak menduga bahwa model manusia terancam tergantikan, terutama di ranah e-commerce, yang menjadi jantung pemasaran modern. Dalam konteks ini, penting untuk memikirkan dampak jangka panjang dari otomatisasi, baik bagi model itu sendiri maupun industri secara keseluruhan.

Kontroversi ini menunjukkan adanya pergeseran dalam cara industri mode berfungsi. Banyak yang berpandangan bahwa efektivitas biaya bukanlah satu-satunya pertimbangan, tetapi juga etika dan dampak sosial dari pemakaian AI. Keputusan untuk menggunakan model AI atau manusia kini bergantung pada berbagai faktor, termasuk visi merek, hubungan dengan model tersebut, serta tanggung jawab terhadap konsumen.

Dari sudut pandang artistik dan moral, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah dunia fashion akan terus harus beradaptasi dengan teknologi atau justru akan kehilangan unsur kemanusiaan yang menjadi esensi dalam dunia kreasi ini? Diskusi seputar penggunaan AI dalam fashion mencerminkan kerumitan antara inovasi dan tradisi, yang tak akan berhenti dalam waktu dekat.

Exit mobile version