Di tengah percepatan transformasi digital, masalah dark data menjadi tantangan serius bagi organisasi di Indonesia. Dark data merupakan informasi yang tersimpan tanpa digunakan, mencakup berbagai bentuk seperti log aktivitas pengguna, komunikasi internal, rekaman CCTV, dan arsip transaksi lama. Menurut Pratama Persadha, Chairman CISSReC, tingginya volume dark data di Indonesia erat kaitannya dengan digitalisasi yang pesat, namun pengelolaan data yang belum sistematis menyebabkan arsip lama tetap disimpan tanpa adanya kurasi.
Kebocoran data lama, yang sering kali tersimpan di server lawas, berpotensi menjadi sasaran empuk bagi peretas. Dark data bisa menyimpan informasi sensitif, seperti identitas pelanggan atau detail transaksi, yang tanpa pengelolaan yang baik dapat menjadi liabilitas. “Ketika tidak dikelola dengan baik, data ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber,” tambah Pratama.
Menurut survei Hitachi Vantara, 24% data perusahaan di Indonesia teridentifikasi sebagai dark data, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 10%. Hal ini menciptakan risiko finansial dan keamanan. Penyimpanan data lama yang tidak berguna mendorong biaya infrastruktur meningkat, sementara hanya 14% responden yang merasa datanya tersedia saat dibutuhkan. Selain itu, hanya 6% yang percaya pada hasil keluaran artificial intelligence (AI) yang mereka gunakan.
Ironisnya, investasi pada AI diprediksi akan meningkat 124% dalam dua tahun mendatang, namun manajemen data, justru masih dalam keadaan rapuh. Kebutuhan penyimpanan data diperkirakan akan melonjak 29,6%, yang semakin mempertegas urgensi strategi tata kelola data yang lebih baik.
Masalah dark data bukan hanya relevan bagi sektor perusahaan, tetapi juga menyentuh aspek keamanan siber nasional. Kebocoran data pribadi bisa menjadi pintu masuk bagi serangan siber yang lebih serius, termasuk spear phishing dan advanced persistent threat (APT). Risiko ini berpotensi membuat Indonesia menjadi “ladang emas” bagi aktor siber asing jika manajemen data tidak ditangani secara serius.
Dalam konteks ini, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberikan tekanan tambahan bagi organisasi. Setiap kebocoran data pribadi, termasuk data dari dark data yang tidak relevan, berpotensi mendatangkan sanksi hukum serta kerugian reputasi. Hal ini menunjukkan perlunya tindakan proaktif dari semua pihak untuk mengatasi masalah dark data.
Namun, di balik tantangan tersebut, ada peluang yang dapat dimanfaatkan. Country Managing Director Hitachi Vantara Indonesia, Ming Sunadi, mengungkapkan bahwa dengan tata kelola yang baik, dark data dapat memberikan insight berharga yang mendukung inovasi dan memperkuat strategi bisnis berbasis AI. “Organisasi yang berorientasi pada data dan memprioritaskan tata kelola serta analitik berada dalam posisi yang lebih baik untuk mendorong inovasi dan tetap kompetitif,” ujarnya.
Langkah strategis diperlukan untuk menangani masalah ini secara menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait perlindungan data, perusahaan seharusnya berinvestasi pada teknologi tata kelola data, dan masyarakat harus meningkatkan kesadaran akan pentingnya melindungi informasi pribadi. Tanpa pendekatan berkelanjutan dan kolaboratif, dark data akan terus menjadi “bom waktu” yang mengancam keamanan siber, kepercayaan publik, serta kedaulatan digital Indonesia. Keberhasilan dalam pengelolaan data ini akan menjadi kunci dalam menyongsong era digital yang lebih aman dan berkelanjutan.
