Korban Gas Air Mata Aksi Demo di Mako Brimob: Efeknya Bagi Publik

Korban gas air mata terus berjatuhan dalam aksi demonstrasi yang berlangsung di depan Mako Brimob Kwitang dan Polda, Jakarta Pusat, pada Jumat sore, 29 Agustus 2025. Sejumlah ambulans terlihat berkeliling untuk mengevakuasi para demonstran yang terpaksa terpapar saat keadaan memanas. Penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan menjadi sorotan publik, terutama mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan.

Gas air mata dikenal sebagai senjata non-mematikan yang sering digunakan dalam pengendalian kerusuhan. Diketahui bahwa senyawa kimia dalam gas ini mampu mengiritasi selaput lendir mata dan saluran pernapasan, menyebabkan batuk, dan efek sesak. Menurut laporan dari berbagai sumber, termasuk Britannica, gas ini dapat menyengat dan membuat kulit terasa terbakar, sehingga menciptakan suasana panik di kalangan demonstran yang terpapar.

Sejarah penggunaan gas air mata meliputi masa Perang Dunia I ketika pasukan Prancis pertama kali menembakkan granat gas ini ke arah tentara Jerman. Sejak saat itu, gas ini telah menjadi alat penting dalam pengendalian situasi kerusuhan sipil. Bukan hanya dalam konteks perang, tetapi juga dalam menjaga keamanan dalam aksi massa. Namun, meski dianggap sebagai senjata non-mematikan, fakta bahwa penggunaannya sering kali menimbulkan cidera serius memberi alasan bagi aktivis hak asasi manusia untuk mengkritik praktik ini.

Amnesty International mencatat bahwa gas air mata adalah salah satu alat penyiksaan yang diperdagangkan di pasar internasional. Dalam banyak kasus, penggunaan gas ini tidak terarah, dan malah menciptakan lebih banyak kekacauan daripada yang dimitigasi. Penangkapan terhadap para demonstran yang tertangkap dalam gas ini sering kali berujung pada kondisi kesehatan yang parah, dan beberapa kasus telah dilaporkan menimbulkan kematian.

Kejadian di Jakarta ini menambah daftar panjang insiden berkaitan dengan penggunaan gas air mata dalam situasi demonstrasi. Dalam pantauan di lapangan, demonstran mengaku merasakan dampak langsung dari gas ini. “Saya merasa sangat kesulitan bernafas. Mata saya perih dan kulit terasa panas. Rasanya sangat tidak nyaman,” ungkap salah satu peserta aksi.

Di sisi lain, pihak keamanan berargumen bahwa penggunaan gas air mata adalah langkah terakhir untuk mengendalikan situasi yang dianggap mengancam. Mereka mengklaim bahwa tindakan ini diambil untuk menjaga ketertiban, meskipun banyak yang meragukan efektivitas dan manusiawi dari metode tersebut.

Kini, efek dari penggunaan gas air mata ini turut memunculkan berbagai perdebatan. Beberapa kalangan mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan penggunaan gas air mata, sementara yang lain berpendapat bahwa hal ini menjadi bagian dari proses demokrasi yang sah. Pihak-pihak yang memperjuangkan reformasi dalam pengelolaan kerumunan massa menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih mengedepankan dialog dibandingkan dengan tindakan represif seperti penggunaan gas air mata.

Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan gas air mata semakin meningkat, mencerminkan gelombang kerusuhan sosial yang kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan, isu sosial, serta kebijakan ekonomi sering kali menjadi pemicu aksi massa. Dalam konteks ini, banyak yang mempertanyakan kapan pemerintah akan mencari alternatif lain yang lebih manusiawi dan efektif dalam menangani demonstrasi.

Sementara itu, masyarakat terus menunggu respon dari pihak berwenang mengenai tindakan selanjutnya pasca insiden ini. Bahwa setiap aksi demonstrasi harus dilihat sebagai bagian dari demokrasi, perlu diperhatikan agar tindakan represif tidak mengorbankan hak dasar setiap individu untuk bersuara.

Berita Terkait

Back to top button