Revolusi ala Bos ChatGPT: Usia Tak Lagi Jadi Penghalang untuk Berprestasi

Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), pernyataan kontroversial dari Sam Altman, CEO OpenAI dan salah satu tokoh penggagas ChatGPT, menggugah perdebatan mengenai batas usia dalam konteks produktivitas. Dalam sebuah podcast, Altman menekankan bahwa perhatian seharusnya tidak hanya pada generasi muda yang adaptif, melainkan juga pada pekerja senior, terutama mereka yang enggan beradaptasi dengan perubahan teknologi. Menurutnya, inilah tantangan utama yang harus dihadapi.

Altman mengungkapkan, “Saya lebih khawatir mengenai apa artinya ini bagi pekerja berusia 62 tahun yang tidak ingin belajar kembali atau mengembangkan keterampilan baru.” Pandangan ini menantang pemahaman konvensional bahwa usia di atas 60 tahun adalah masa persiapan menjelang pensiun. Sebaliknya, dia menyarankan agar orang-orang di kelompok usia tersebut melihat masa depan dengan optimisme dan terus mengejar pembelajaran.

Konteks ini langsung relevan dengan pola pemikiran kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Selama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kesehatan menetapkan usia produktif dalam rentang 15 hingga 64 tahun. Angka ini dianggap sebagai tulang punggung yang bertanggung jawab terhadap populasi non-produktif. Namun, pernyataan Altman menunjukkan bahwa batasan usia seperti ini mungkin sudah tidak relevan lagi dalam era AI di mana kemampuan untuk belajar dan beradaptasi menjadi lebih penting dibandingkan sekadar angka tahun.

Di sisi lain, regulasi mengenai usia pensiun di Indonesia terlihat belum sepenuhnya selaras dengan perubahan ini. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015, usia pensiun akan bertambah secara bertahap hingga mencapai 65 tahun pada tahun 2043. Meskipun perubahan ini bertujuan mengikuti angka harapan hidup yang semakin meningkat, semangat di baliknya masih berlandaskan pada pola kerja tradisional.

Filosofi yang dibawa Altman berfokus pada gagasan “pembelajaran seumur hidup.” Dia mendorong agar setiap individu menemukan keseimbangan antara keterampilan, minat, dan nilai yang dapat diberikan kepada masyarakat. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah, apakah kebijakan pemerintah sudah siap untuk mendukung “pekerja senior” yang ingin memulai karier baru?

Program-program seperti Kartu Prakerja, yang dirancang untuk pelatihan ulang dan pengembangan keterampilan, seringkali lebih ditujukan pada generasi muda. Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang lebih inklusif dan tidak menganggap usia sebagai penghalang untuk belajar dan berkembang. Hal ini juga diakui oleh Bank Indonesia yang mulai memperhatikan pentingnya literasi keuangan digital untuk semua kalangan, termasuk UMKM dan masyarakat di daerah tertinggal. Namun, inisiatif tersebut perlu diperluas untuk mencakup literasi teknologi yang lebih mendalam bagi semua usia.

Pernyataan Altman seharusnya dianggap sebagai sinyal peringatan bagi para pembuat kebijakan. Batasan kaku mengenai “usia produktif” dan “usia pensiun” bisa menjadi kendala besar dalam menghadapi masa depan yang berorientasi pada teknologi. Jika pemerintah tidak memperbarui strategi pengembangan sumber daya manusia menjadi lebih fleksibel dan adaptif, Indonesia berisiko kehilangan potensi besar dari angkatan kerja senior.

Melihat dari sudut pandang ini, transformasi yang diusulkan oleh Altman seharusnya dipertimbangkan secara serius. Generasi tua bukan hanya sekadar penerima manfaat dari kebijakan sosial, tetapi mereka juga harus diperlakukan sebagai sumber daya berharga yang terus berkontribusi dalam perekonomian dan masyarakat. Mari kita mendorong budaya belajar tanpa batasan usia dan memperluas wawasan kita tentang produktivitas di era digital ini.

Exit mobile version