ICSF Ungkap Berbagai Masalah Akibat Monetisasi Siaran Langsung Demo TikTok

Pakar siber mengemukakan kritik tajam terhadap praktik donasi yang marak dilakukan selama siaran langsung di media sosial saat demonstrasi, terutama di platform seperti TikTok dan YouTube. Menurut Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, fenomena ini tidak murni untuk mendokumentasikan peristiwa tetapi lebih untuk mengejar keuntungan finansial melalui hadiah (gift) dari penonton. Ardi menyebut hal ini sebagai bentuk monetisasi konflik sosial yang problematik, di mana pembuat konten mendapat imbalan finansial dari situasi yang tidak stabil.

Pihak kepolisian menemukan bahwa motif pencarian gift menjadi pendorong utama di balik banyaknya siaran langsung demonstrasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian pelaku tidak hanya berusaha menyampaikan aspirasinya, tetapi juga mencari keuntungan dari kondisi tersebut. Ardi berpendapat bahwa aliran dana ke akun-akun yang menyiarkan demonstrasi dapat dilihat sebagai komersialisasi aktivisme. Situasi ini berpotensi merusak integritas gerakan sosial yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai perjuangan.

Dengan dorongan finansial yang sedemikian kuat, kualitas informasi yang disampaikan selama siaran langsung menjadi dipertanyakan. Motivasi untuk mendapatkan donasi dapat menciptakan distorsi informasi, memengaruhi persepsi publik terkait isu-isu krusial yang sebenarnya ingin disuarakan dalam demonstrasi. Dalam pandangan Ardi, hal ini dapat memicu penyebaran konten provokatif dan kekerasan, yang selanjutnya berpotensi memperburuk ketegangan sosial.

Tentu saja, praktik monetisasi ini tidak hanya berdampak pada pelaku demo, tetapi juga berdampak pada sektor ekonomi digital secara luas. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergantung pada fitur live streaming untuk pemasaran produk mereka turut merasakan dampak negatif. Menurut Ardi, tindakan pihak media sosial untuk membatasi atau menonaktifkan fitur ini sebagai respons terhadap penyalahgunaan yang terjadi, juga merugikan pelaku bisnis UMKM yang tidak terlibat dalam praktik bermasalah ini.

Lebih lanjut, Ardi menunjukkan bahwa degradasi kualitas diskursus publik menjadi salah satu dampak signifikan dari monetisasi siaran langsung. Fokus perhatian masyarakat beralih dari substansi isu kemanusiaan yang ada dalam demonstrasi, menjadi tontonan semata yang menguntungkan secara finansial. Konten yang seharusnya berasal dari analisis krisis dan pertimbangan mendalam terhadap isu sosial justru terabaikan.

Algoritma media sosial yang cenderung mengutamakan konten dengan tingkat keterlibatan tinggi semakin memperburuk situasi ini. Hal ini menciptakan ruang gema yang memperkuat pandangan ekstrem di masyarakat. Menurut Ardi, kondisi ini memiliki implikasi jangka panjang yang mengancam stabilitas politik dan kohesi sosial.

Dalam konteks ini, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, juga mengamati adanya aliran dana yang signifikan menuju akun-akun yang menyiarkan konten kekerasan. Ia menyampaikan kekhawatiran mengenai konten yang dimonetisasi lewat fitur donasi dan gift, yang berhubungan dengan praktik anarkis dan bahkan jaringan judi online.

Sebagai langkah awal, Ardi menyarankan agar publik, pelaku industri, dan pemerintah bekerja sama untuk merumuskan kebijakan yang lebih ketat mengenai monetisasi konten. Hal ini bertujuan untuk mencegah pengambilan keuntungan dari situasi konflik dan melindungi integritas dari gerakan sosial.

Ke depan, diharapkan adanya upaya pembenahan untuk memperbaiki mekanisme monetisasi di platform digital, agar tidak hanya mendukung profit, tetapi juga menjaga kualitas informasi dan partisipasi publik yang sehat. Informasi relevan dan berkualitas tetap perlu diprioritaskan agar tidak terjerumus dalam komersialisasi yang mengabaikan nilai-nilai fundamental dari demokrasi.

Berita Terkait

Back to top button