Smartphone terbaru dari Apple, iPhone 17, diprediksi tetap laris di pasar Indonesia meski ada pelemahan daya beli di kalangan masyarakat. Dalam segmen menengah ke atas, calon pembeli yang merujuk pada kelas ekonomi yang stabil tetap bersedia mengeluarkan dana untuk mendapatkan perangkat yang dianggap berkualitas dan prestisius ini. Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, mengeksplorasi fenomena ini, dengan menyatakan bahwa iPhone memiliki pasar yang khusus di Indonesia, terutama di kalangan pengguna yang mengutamakan gengsi dan status sosial.
Menurut Sutadi, “meski harga mahal, iPhone tetap memiliki penggemarnya di Indonesia. Ini karena produk tersebut dianggap mencerminkan kelas dan kualitas tertentu. Walaupun daya beli menurun, konsumen di segmen menengah ke atas masih akan membeli produk ini.” Ia menambahkan bahwa kepatuhan terhadap regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga penting untuk diperhatikan. Sampai kini, status iPhone 17 terkait aturan TKDN masih belum sepenuhnya jelas. Namun, ia mendorong agar iPhone 17 tetap mematuhi kewajiban ini.
M. Tesar Sandikapura, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC), juga menyodorkan pandangan bahwa ada dua faktor utama yang memengaruhi penjualan iPhone 17 di Indonesia: regulasi TKDN dan kondisi ekonomi domestik. Ia mengingatkan bahwa peluncuran iPhone 16 sebelumnya sempat terhambat karena masalah sertifikasi. Jika iPhone 17 dapat melewati proses ini dengan mulus, maka penjualan diperkirakan akan cukup signifikan. Tesar memperkirakan bahwa dalam enam bulan setelah peluncuran, penjualan bisa mencapai antara 400.000 hingga 600.000 unit.
Kebijakan moneter Bank Indonesia yang baru juga dapat memberikan efek positif bagi pasar smartphone premium. Penurunan suku bunga acuan menjadi 5% dapat menciptakan ruangan lebih besar bagi skema cicilan yang ringan. Kondisi ini ditambah lagi dengan program trade-in dan cicilan panjang dapat membuat iPhone 17 semakin menarik bagi konsumen. “Banyak pengguna yang mencari opsi pembayaran yang lebih ramah anggaran,” kata Tesar.
Berkaitan dengan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintahan AS, Tesar menegaskan bahwa ini tidak mempengaruhi harga iPhone di Indonesia. “Tarif tersebut hanya berlaku untuk impor ke Amerika Serikat, bukan untuk pasar domestik kita,” ujarnya. Dengan demikian, harga iPhone lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, seperti fluktuasi kurs rupiah, pajak, dan biaya distribusi.
Dalam situasi daya beli yang menurun, sangat diperlukan strategi pemasaran yang lebih agresif oleh Apple dan mitra distribusi. Tesar menyarankan berbagai inisiatif seperti cicilan 0% hingga 36 bulan, trade-in dengan nilai tinggi, serta bundling dengan operator seluler untuk menarik minat konsumen. Diferensiasi produk juga menjadi perhatian penting. “Apple harus menonjolkan fitur terbaru iPhone 17 dibandingkan generasi sebelumnya. Peningkatan pada kamera, performa, dan integrasi ekosistem Apple harus menjadi alasan kuat bagi pengguna untuk melakukan upgrade,” tambah Tesar.
Fenomena daya beli yang melemah ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan, segmen pasar premium tetap memiliki daya tarik tersendiri. Hal ini memberikan gambaran bahwa meski kondisi ekonomi kurang mendukung, kualitas dan prestige dari produk seperti iPhone 17 tetap mampu menarik perhatian konsumen tertentu di Indonesia. Ke depan, langkah-langkah strategis dalam pemasaran yang dapat menjawab kebutuhan pelanggan akan sangat menentukan keberhasilan penjualan iPhone 17.