Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) telah mengambil langkah signifikan dengan melarang warga negara China berpartisipasi dalam program dan fasilitas penelitian mereka. Kebijakan ini diumumkan setelah sekelompok peneliti dan mahasiswa Tiongkok mendapati akses mereka dicabut tanpa pemberitahuan sebelumnya pada 5 September 2023. NASA menjelaskan bahwa pembatasan ini bertujuan untuk “memastikan keselamatan kerja,” yang mencakup larangan terhadap penggunaan fasilitas, materi, dan jaringan NASA oleh warga negara China.
Langkah ini semakin memperlebar kesenjangan kerja sama ilmiah antara Washington dan Beijing, di mana aspek-aspek keamanan nasional menjadi sorotan utama. Sebelumnya, Tiongkok telah dilarang berpartisipasi dalam Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) setelah NASA dilarang berbagi data dengan mereka. Situasi ini memperburuk ketegangan antara kedua negara, yang bersaing ketat di sektor teknologi dan eksplorasi antariksa.
NASA, melalui juru bicaranya Bethany Stevens, menegaskan bahwa pembatasan akses fisik dan siber bagi warga negara Tiongkok merupakan tindakan internal yang diperlukan. Penjabat Administrator NASA, Sean Duffy, dalam sebuah konferensi pers, menyatakan bahwa Amerika Serikat kini terlibat dalam “perlombaan antariksa kedua” dengan China, dengan klaim bahwa Tiongkok berambisi untuk kembali ke bulan sebelum AS.
Pernyataan Duffy menyoroti ketegangan yang semakin meningkat di antara dua adidaya dunia ini. Meskipun China berpendapat bahwa eksplorasi antariksa adalah misi kolektif bagi kemanusiaan, Washington memandang aspirasi tersebut dengan kecurigaan dan kekhawatiran yang mendalam.
Selama beberapa tahun terakhir, mahasiswa Tiongkok di bidang sains dan teknologi juga menghadapi kesulitan dalam mendapatkan visa untuk memasuki Amerika Serikat. Beberapa bahkan terhambat meskipun telah mengantongi visa. Dalam konteks ini, insiden-insiden spionase yang melibatkan warga negara China semakin memperburuk hubungan antara kedua negara, dengan para ilmuwan di AS seringkali berada di bawah pengawasan ketat pihak berwenang.
Dari segi waktu, NASA melalui program Artemis menargetkan pendaratan kembali di bulan pada tahun 2027. Namun, program ini menghadapi penundaan dan peningkatan biaya yang signifikan. Sebaliknya, China menargetkan pendaratan astronot atau “taikonaut” pada tahun 2030 dan sejauh ini mereka mampu mengikuti jadwal tersebut dengan baik.
Persaingan ini tidak sekadar soal siapa yang lebih dahulu mendarat di bulan, tetapi juga berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang berharga yang terdapat di satelit alami Bumi tersebut. Bumi dikenal kaya akan berbagai mineral, termasuk tanah jarang, logam seperti besi dan titanium, serta helium. Sumber daya ini memiliki peran penting dalam berbagai industri, mulai dari superkonduktor hingga peralatan medis.
Senator Republik Ted Cruz, dalam sidang Senat pekan lalu, menekankan bahwa kegagalan Amerika dalam menguasai teknologi antariksa akan menimbulkan risiko besar bagi keamanan nasional. Dengan adanya kebijakan NASA yang melarang keterlibatan Tiongkok dalam program antariksa mereka, AS tampaknya berusaha menjaga dominasi dan pengetahuan teknologi di sektor ini.
Persaingan antara AS dan China dalam eksplorasi antariksa menunjukkan bahwa ketegangan ini tidak hanya dipicu oleh ambisi eksplorasi, tetapi juga oleh strategi geopolitik yang lebih luas. Dalam perspektif global, eksplorasi luar angkasa kini lebih dari sekadar misi ilmiah; ini adalah arena pertarungan untuk menjadi pemimpin teknologi dan menguasai sumber daya yang layak diperjuangkan. Sementara itu, langkah-langkah seperti larangan terhadap partisipasi warga negara China di NASA menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dipersepsikan di tingkat internasional.
