Di tengah perhatian yang semakin meningkat terhadap keamanan data pribadi, DPR Republik Indonesia mengingatkan pemerintah akan pentingnya perlindungan data dalam konteks kerja sama lintas negara. Peringatan ini muncul menyusul adanya kebocoran data pribadi yang mengkhawatirkan, seperti yang terjadi pada serangan siber terhadap sejumlah entitas. Wakil Ketua Komisi I DPR Sukamta menegaskan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam menyepakati kerjasama internasional terkait pertukaran data pribadi.
Pernyataan ini disampaikan saat Plenary Session 1 DGVeRS 2025 yang diadakan di Jakarta, di mana Staf Ahli Menkomdigi, Raden Wijaya Kusumawardhana, memaparkan tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam menjaga keamanan data pribadi. Menurutnya, langkah utama dalam hal ini adalah mencocokkan regulasi perlindungan data antarnegara yang terlibat dalam pertukaran data. “Jika regulasi tidak selaras, perlu ada pembahasan mendalam sebelum transfer data dilakukan,” ujar Wijaya.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia memiliki dua undang-undang penting yang menjadi landasan, yakni Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Kedua undang-undang ini diharapkan mampu memastikan bahwa data pribadi masyarakat terlindungi dengan baik. Wilayah perlindungan data mencakup data umum seperti nama, NIK, dan gender, serta data khusus seperti data biometrik dan rekam medis.
Namun, meskipun pemerintah menyatakan kehati-hatian dalam perlindungan data, sejumlah kekhawatiran tetap muncul. Salah satunya terkait kerja sama dengan negara yang belum memiliki perlindungan hukum yang memadai untuk data pribadi. Sukamta menekankan perlunya adanya jaminan hukum yang jelas sebelum menyetujui skema transfer data lintas batas. “Jangan sampai kita memberi lampu hijau tanpa adanya regulasi yang mendukung,” tuturnya.
Salah satu contoh mencolok adalah kesepakatan pertukaran data antara Indonesia dan Amerika Serikat melalui “Agreement on Reciprocal Trade.” Di sisi lain, AS sendiri belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur perlindungan data pribadi. “Kekhawatiran ini menjadi lebih nyata ketika melihat sebelumnya ada sejumlah kebocoran data dari berbagai entitas,” lanjut Sukamta.
Menurut informasi terbaru, saat ini Indonesia tengah memperkuat kerjasama dengan negara-negara lain dalam hal perlindungan data melalui sejumlah inisiatif. Salah satunya adalah kerja sama cross-border QRIS antara Indonesia dan India, yang memerlukan analisa mendalam terkait kesamaan sistem perlindungan data. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun potensi pertukaran data lintas negara menjanjikan, kehati-hatian tetap harus menjadi prioritas utama.
Dengan meningkatnya serangan siber global dan kebocoran data yang merugikan, pemerintah juga dilaporkan sedang aktif memperbarui dan memperkuat regulasi untuk meningkatkan keamanan siber. Kemenkomdigi berkomitmen untuk melakukan penyesuaian regulasi sesuai dengan kebutuhan global. Raden Wijaya menyatakan bahwa upaya kolaboratif dan penyelarasan regulasi yang efektif sangat penting untuk menghindari potensi masalah di kemudian hari.
Secara keseluruhan, situasi saat ini menunjukkan bahwa Indonesia harus bersikap proaktif dalam menangani tantangan terkait keamanan data pribadi. Dengan adanya peringatan dari DPR dan kesepakatan internasional yang sedang berjalan, diharapkan pemerintah dapat mengambil langkah-langkah yang tepat agar perlindungan data pribadi masyarakat tetap terjaga, sambil tetap berkontribusi dalam arus digital global yang terus berkembang. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk tetap waspada dan memahami hak-hak mereka terkait perlindungan data pribadi mereka.





