Luas Es Laut Antartika Catat Titik Terendah Ketiga dalam 47 Tahun

Luas es laut di Antartika telah mencatat titik terendah ketiga dalam periode 47 tahun pengamatan satelit. Fenomena ini menunjukkan dampak signifikan perubahan iklim yang mulai dirasakan di kawasan paling selatan Bumi. Data terbaru dari Pusat Data Salju dan Es Nasional Amerika Serikat (NSIDC) menyebutkan bahwa es laut di Antartika mencapai maksimumnya pada 17 September 2025 dengan luas hanya 17,81 juta kilometer persegi. Angka ini lebih rendah 900.000 kilometer persegi dibandingkan dengan rata-rata historis dari 1981 hingga 2010.

Dr. Ted Scambos, peneliti senior dari NSIDC, menekankan bahwa penurunan ini bukan hanya fluktuasi biasa, melainkan bagian dari tren jangka panjang yang mengkhawatirkan. “Kecenderungan penurunan yang terus terjadi menimbulkan kekhawatiran serius terhadap stabilitas dan potensi pencairan lapisan es di wilayah ini,” ungkapnya. Hal ini semakin membuktikan bahwa suhu lautan global yang terus meningkat memberikan dampak nyata terhadap perairan sekitar Antartika.

Sebelumnya, para ilmuwan mencatat bahwa es laut di Antartika mengalami fluktuasi yang relatif stabil. Namun, sejak 2016, tren ini berubah drastis dengan peningkatan suhu yang menghangatkan perairan di sekitar Antartika. Dr. Scambos menjelaskan bahwa “panas dari samudra dunia mulai meresap ke perairan dekat Antarktika,” yang mengindikasikan bahwa perubahan iklim semakin intens dan berdampak langsung.

Es laut tidak hanya berfungsi sebagai penyangga yang melindungi lapisan es daratan Antarktika, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Ketika es laut berkurang, sinar matahari yang seharusnya dipantulkan justru diserap oleh laut, mempercepat pemanasan regional. Ini menciptakan siklus yang dapat mempercepat pencairan gletser dan kenaikan permukaan air laut.

Meskipun hilangnya es laut tidak langsung menyebabkan peningkatan bertahap permukaan air laut, penurunan ini memiliki efek domino. Gelombang dan angin laut yang lebih agresif dapat mengikis pantai, mendorong aliran gletser menuju laut, dan memperburuk kondisi yang sudah ada. Dengan demikian, meskipun kondisi ini terlihat sepele, dampaknya dapat sangat signifikan dalam jangka panjang bagi ekosistem dan populasi di seluruh dunia.

Menariknya, penurunan es laut ini juga dapat memunculkan dinamika baru. Dr. Scambos mencatat bahwa “kelembaban udara yang meningkat akibat perairan yang lebih hangat mungkin menyebabkan lebih banyak curah salju di Antartika.” Ini bisa menunda dampak langsung dari kenaikan permukaan laut, meskipun efek ini hanya bersifat sementara. Dalam jangka panjang, pemanasan global yang berkelanjutan diprediksi akan menipiskan lapisan es daratan yang lebih mencemaskan.

Secara global, es laut di Arktik juga mengalami penurunan. Data menunjukkan bahwa pada 10 September 2025, luas es laut di Arktik mencapai 1,6 juta kilometer persegi, menandai posisi ke-10 terendah sejak pengukuran dimulai. Semua rekor terendah di Arktik tercatat dalam 19 tahun terakhir, mencerminkan perubahan iklim yang sangat signifikan akibat aktivitas manusia.

Pengamatan ketat terhadap perubahan es laut di kedua kutub bergantung pada data satelit. Namun, masalah teknis yang terjadi pada pertengahan 2025 akibat pengurangan akses data oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat membuat pemantauan sedikit terganggu. Sebagai solusi, NSIDC mulai menggunakan sensor baru dari satelit Jepang untuk memastikan konsistensi data yang dapat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Langkah ini tidak hanya penting untuk pemantauan iklim global tetapi juga mendesak bagi pengambilan keputusan di tingkat internasional guna mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Sementara dunia masih berjuang untuk memahami dan memitigasi dampak perubahan ini, data dari Antartika dan Arktik akan terus menjadi indikator penting bagi masa depan planet kita.

Source: www.suara.com

Exit mobile version