Kemenkomdigi Sentil Fotografer Jual Foto ke Aplikasi AI Tanpa Izin

Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) baru-baru ini menyoroti praktik kontroversial yang semakin marak terjadi di kalangan fotografer jalanan, yaitu penjualan foto masyarakat melalui aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) tanpa izin. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Komunikasi dan Digital (BPSDM) Kemenkomdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, menegaskan bahwa perlindungan data pribadi tidak terbatas pada informasi teks atau identitas digital saja, tetapi juga meliputi data biometrik seperti wajah.

Dalam pernyataannya, Bonifasius menekankan pentingnya menjaga privasi individu. “Data pribadi bukan hanya teks, bahkan juga termasuk wajah. Dengan kemajuan teknologi, biometrik kita pun perlu dijaga,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan data pribadi di era digital.

Fenomena penjualan foto tanpa izin dipandang sebagai masalah etika yang serius. Bonifasius mencatat bahwa di banyak negara maju, mengambil gambar orang lain tanpa izin adalah hal yang tidak dapat diterima. “Praktik memotret orang tanpa persetujuan dan menjualnya secara komersial bisa dianggap melawan etika dan budaya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa pengambilan foto harus dilakukan dengan izin dari yang bersangkutan, dan jika digunakan untuk keperluan lain, izin tersebut juga diperlukan. “Kita harus sadar bahwa perlindungan data pribadi ini penting dan perlu diatur dengan jelas,” tambahnya. Dalam konteks ini, Kemenkomdigi berkomitmen untuk memperbarui regulasi yang mengatur pemanfaatan foto dan data pribadi berbasis AI.

Masih menurut Bonifasius, kesadaran akan etika digital harus ditingkatkan. Ia mengajak masyarakat, terutama fotografer dan konten kreator, untuk lebih menghargai privasi orang lain dalam setiap aktivitas digitalnya. Banyak kasus di mana individu merasa terganggu atau merasa hak-haknya dilanggar akibat pengambilan gambar tanpa izin. Oleh karena itu, diimbau agar semua fotografer, terutama yang beroperasi di ruang publik, untuk menerapkan sikap sopan dan etis dalam berinteraksi dengan orang yang akan difoto.

Kemenkomdigi juga menyadari bahwa regulasi yang ada saat ini mungkin masih memerlukan penyesuaian guna menyesuaikan kebutuhan akan perlindungan data di era yang semakin kompleks ini. “Kita perlu kembali mengkaji peraturan yang ada agar jelas dan dapat melindungi semua pihak,” tegasnya.

Praktik ini tidak hanya mengancam privasi individu, tetapi juga dapat menciptakan potensi eksploitasi di dunia digital. Penjualan foto masyarakat ke aplikasi AI, jika tidak diawasi dengan benar, bisa mengarah pada penyalahgunaan yang lebih besar. Misalnya, wajah seseorang yang digunakan dalam aplikasi yang tidak diketahui dapat menimbulkan risiko yang tidak terduga bagi individu tersebut.

Bonifasius juga mengingatkan pentingnya kesedaran budaya dalam era digital. Saat ini, masyarakat harus mengedepankan norma-norma sosial yang menghargai privasi dan integritas individu. “Jika ingin mengambil gambar orang, mintalah izin dahulu. Ini adalah tanda penghormatan dan tanggung jawab kita sebagai fotografer,” katanya.

Dalam situasi yang serba cepat dan penuh inovasi seperti sekarang, diskusi mengenai batas antara kreativitas dan etika menjadi semakin relevan. Kemenkomdigi mendorong masyarakat untuk mematuhi undang-undang perlindungan data pribadi (UU PDP), yang memiliki tujuan untuk melindungi hak-hak individu.

Dengan kesadaran dan regulasi yang ketat, diharapkan praktik pengambilan dan penggunaan foto di ruang publik dapat berjalan lebih etis dan bermanfaat bagi semua pihak. Adaptasi terhadap teknologi baru harus tetap mengedepankan rasa hormat terhadap hak-hak pribadi masyarakat.

Source: www.beritasatu.com

Berita Terkait

Back to top button