Masyarakat global kini kembali dibikin penasaran dengan kisah ular raksasa berukuran sekitar 15 meter yang konon berada di hutan-hutan Kongo. Legenda ini mengacu pada pengalaman seorang kolonel Angkatan Udara Belgia, Remy Van Lierde, yang menjumpai ular tersebut saat terbang menggunakan helikopter pada tahun 1959. Dalam sebuah wawancara yang disiarkan di acara televisi Inggris, “Arthur C Clarke’s Mysterious World”, Van Lierde menjelaskan bahwa ia melihat seekor ular berwarna hijau kecokelatan melata di tanah di bawahnya dan memperkirakan panjangnya hampir mencapai 15 meter.
Kisah ini mengundang berbagai reaksi. Sebagai seorang pilot yang berpengalaman, Van Lierde merasa cukup terlatih untuk mengestimasi ukuran objek dari udara. Ia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa saat helikopternya menurunkan ketinggian, ular tersebut tiba-tiba mengangkat lehernya setinggi 3 meter, menunjukkan postur menyerang. Deskripsi Van Lierde mengenai kepala ular yang mirip dengan kepala kuda besar, serta ukuran rahangnya yang mencapai 60 sentimeter, semakin memperkuat klaimnya.
Namun, meskipun laporan ini menarik perhatian banyak orang, banyak ilmuwan meragukan keberadaan ular sebesar itu. Statistik zoologi menunjukkan bahwa ular terbesar yang diketahui di wilayah tersebut adalah piton batu Afrika (Python sebae), yang biasanya hanya tumbuh hingga 3 meter, dan dalam kasus yang sangat jarang bisa mencapai 6 meter. Oleh karena itu, keabsahan klaim Van Lierde dipertanyakan, dan kritik menyebutkan bahwa untuk mengonfirmasi adanya ular berukuran 15 meter, dibutuhkan bukti fisik yang konkret, seperti bangkai atau kulit ular tersebut.
Sejarah mencatat bahwa dalam budaya berbagai masyarakat, termasuk di Kongo, kisah-kisah tentang makhluk misterius bukanlah hal yang baru. Sebagai contoh, mokele-mbembe, makhluk yang digambarkan mirip dengan dinosaurus, juga terdapat dalam folklore setempat dan dipercaya oleh sebagian orang sebagai sisa hidup dari zaman prasejarah. Para ilmuwan percaya bahwa penampakan makhluk tersebut sering kali hanyalah ilusi, seperti yang disebabkan oleh gajah atau badak yang tampak samar di balik pepohonan lebat.
Teknologi modern dan kemajuan dalam kecerdasan buatan (AI) kini memudahkan penyebaran hoaks visual dan kisah-kisah tentang monster. Gambar dan video yang dihasilkan secara komputer dapat menunjukkan makhluk mitos seperti Monster Loch Ness atau Bigfoot seolah-olah nyata, mengaburkan batasan antara fakta dan fiksi. Di tengah kemajuan ini, legenda ular raksasa Kongo tetap hidup, terus berevolusi.
Menariknya, meskipun banyak skeptisisme, kisah-kisah ini membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk mengetahui lebih dalam tentang kehidupan di hutan Kongo yang masih misterius. Perlakuan cerita ini di berbagai media menjadikan populasi ilmiah dan masyarakat umum sama-sama penasaran, apakah mungkin masih ada ular raksasa yang belum terindentifikasi di antara masyarakat lokal atau di luar pengetahuan ilmiah yang ada saat ini.
Dalam konteks ini, penelitian ilmiah dan eksplorasi lapangan di wilayah hutan Kongo masih sangat penting. Mengumpulkan data dan informasi yang akurat dapat membantu menjelaskan fenomena-fenomena yang selama ini dianggap mitos. Selain itu, kolaborasi antara para ilmuwan dan masyarakat lokal tak kalah penting untuk mengungkap kebenaran di balik legenda-legenda yang telah menjadi bagian dari sejarah budaya.
Dengan kemunculan teknologi baru, bisa jadi masa depan penelitian tentang ular raksasa ini akan membuahkan hasil yang lebih eksploratif, melebihi imajinasi yang selama ini ada dalam benak masyarakat. Apakah ular besar itu memang hilang atau hanya menunggu untuk ditemukan, tak seorang pun yang tahu. Yang pasti, misteri ini akan terus merangsang imajinasi kolektif dan memicu pencarian eksplorasi di masa mendatang.
Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com




