Benarkah AI Membahayakan? Pakar Ungkap Risiko Penggunaan Berlebihan dalam Kehidupan Sehari-hari

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Generasi Z, yang tumbuh dengan teknologi, semakin menaruh harapan dalam AI untuk berbagai kebutuhan. Namun, di balik semua kemudahan itu, ada bahaya yang mengintai akibat penggunaan AI yang berlebihan.

Pakar rekayasa perangkat lunak dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Ridi Ferdiana, mengungkapkan fenomena “DDA” atau dikit-dikit AI. Fenomena ini mengacu pada kecenderungan anak muda yang terlalu bergantung pada AI, yang dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis dan daya ingat mereka. Ia melanjutkan, “Critical thinking dan aspek memorization jadi menurun. Efek ‘brain rot’ terjadi karena malas berpikir, dan seringkali bertanya kepada AI,” ujarnya.

Lebih jauh, Ridi menjelaskan bahwa generasi Z telah menjadikan AI sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Mulai dari menyelesaikan tugas kuliah hingga berbincang dengan chatbot, AI telah menjadi teman akrab. Hasil survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025 menunjukkan bahwa 43,7% pengguna AI di Indonesia berasal dari generasi Z. Ini menunjukkan bahwa mereka mengandalkan teknologi ini untuk berbagai keperluan.

Namun, meskipun AI menawarkan banyak manfaat, seperti membantu dalam analisis informasi dan meningkatkan kreativitas, penting untuk menyeimbangkan penggunaannya. Ridi menegaskan bahwa AI tidak boleh menggantikan kemampuan bermikir individu. Dalam konteks ini, ia menyarankan penerapan konsep Essential, Rating, Applicable (ERA) untuk mempromosikan etika dan literasi digital.

  1. Esensial: Pengguna disarankan untuk tetap mencari pengetahuan dasar dari sumber ilmiah, sebelum mengandalkan opini dari AI.
  2. Rating: Penting untuk berpikir kritis sebelum meminta pendapat dari AI, agar informasi yang diperoleh relevan dan akurat.
  3. Applicable: Pengguna hanya boleh memanfaatkan AI setelah melakukan dua langkah sebelumnya.

Dengan menerapkan konsep ERA, kita dapat memposisikan AI sebagai mitra dalam menyelesaikan masalah, tanpa kehilangan kemampuan berpikir kritis. Ridi menekankan bahwa AI seharusnya tidak menggantikan, melainkan melengkapi proses berpikir kita.

Meningkatnya penggunaan AI juga menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif jangka panjang. Apakah generasi muda mampu berpikir mandiri ketika AI menjadi solusi instan? Pertanyaannya mengemuka saat kita menyaksikan generasi yang lebih memilih untuk mendapatkan jawaban cepat dari AI ketimbang berpikir sendiri.

Ridi percaya bahwa penting bagi generasi muda untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Ini menjadi tantangan di era digital saat ini, di mana banyak informasi dapat diakses dengan mudah namun tidak selalu akurat. AI dapat membantu, tetapi harus ada kesadaran untuk tidak hanya bergantung padanya.

Generasi digital ini harus memanfaatkan teknologi secara bijak. Ini penting agar mereka tetap memiliki kemampuan kritis dan tidak kehilangan keahlian dasar dalam berpikir dan menganalisis. Dengan cara ini, mereka dapat menghindari efek negatif dari penggunaan AI yang berlebihan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat juga perlu memperhatikan etika penggunaan AI. Literasi digital harus menjadi bagian integral dari pendidikan. Dengan memahami risiko dan manfaat, generasi muda bisa menjadi pengguna teknologi yang lebih bertanggung jawab.

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, kemampuan untuk berpikir kritis menjadi semakin vital. AI bisa menjadi alat yang hebat, namun harus digunakan dengan bijak.

Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya paham teknologi, tetapi juga mampu berpikir dengan jernih. Mari kita dorong mereka untuk menggunakan AI dengan cara yang mendukung kemampuan berpikir kritis dan kreativitas mereka.

Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com
Exit mobile version