Studi Terbaru: AI Kini Memahami Emosi Lebih Baik dari Manusia

Studi terbaru mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan (AI) kini mampu memahami emosi manusia lebih baik daripada manusia itu sendiri. Penelitian yang dimuat dalam jurnal Communications Psychology tersebut dilakukan oleh tim peneliti dari University of Geneva (UNIGE) dan University of Bern (UniBE). Dalam penelitian tersebut, sejumlah model bahasa besar (Large Language Models/LLMs) diuji untuk menilai kecerdasan emosional mereka menggunakan serangkaian tes standar.

Penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, membandingkan performa manusia dan AI dalam menjawab situasi yang mengandung emosi. Kedua, menilai kemampuan AI untuk membuat soal baru terkait kecerdasan emosional. Hasil yang diperoleh dari tes-tes ini cukup mengejutkan. AI memilih respons yang dianggap “terbaik” dalam skenario emosional sebesar 81% dari waktu, sedangkan rata-rata manusia hanya mencapai 56%. Selain itu, AI mampu menyusun soal baru yang penilaiannya setara dengan soal asli dari segi kesulitan dan orisinalitas.

Meski hasil penelitian ini menarik, terdapat sejumlah catatan dari para ahli mengenai makna dari "memahami emosi." Banyak pakar menyatakan bahwa hasil tersebut tidak berarti AI memiliki pemahaman emosional yang dalam. Semua tes yang digunakan adalah pilihan ganda yang tidak mencerminkan kompleksitas situasi emosional yang dihadapi manusia dalam kehidupan nyata. Taimur Ijlal, seorang pakar keamanan informasi, menegaskan bahwa kadang-kadang manusia sendiri tidak sepakat tentang perasaan orang lain, apalagi AI yang tidak bermakna secara emosional.

Nauman Jaffar, pendiri CliniScripts, menambahkan bahwa yang sebenarnya sedang diuji adalah kemampuan pola pengenalan, bukan kecerdasan emosional sejati. AI sangat baik dalam mengenali pola emosional, namun menyamakan kemampuan ini dengan pemahaman emosi manusia dapat memberikan impresi yang menyesatkan. Jason Hennessey, CEO Hennessey Digital, menggarisbawahi bahwa akurasi AI dapat menurun dengan cepat ketika konteks seperti pencahayaan atau budaya berubah.

Sikap skeptis ini juga didukung oleh Wyatt Mayham, pendiri Northwest IT Consulting, yang menyatakan bahwa meskipun LLM dapat membantu mengklasifikasikan respons emosional umum, mengklaim AI lebih memahami emosi hanya berdasarkan hasil kuis sangatlah simplistik. Mereka yang terlatih dalam bidang emosi akan lebih memahami kerumitan di balik perasaan manusia.

Namun, ada satu contoh nyata yang menunjukkan keunggulan AI dalam merespons emosi, yaitu Aílton, asisten percakapan berbasis WhatsApp yang digunakan oleh sopir truk di Brasil. Diperkenalkan oleh HAL-AI, Aílton mampu mengenali stres atau kemarahan dengan akurasi hingga 80%, yang lebih tinggi 20% dibandingkan manusia pada konteks yang sama. Contoh seperti ini menunjukkan bahwa AI dapat bekerja efektif dalam situasi tertentu dan memberikan respons yang empatik.

Marcos Alves, CEO HAL-AI, mempertegas bahwa meskipun tes yang digunakan dalam penelitian mungkin menyederhanakan pengenalan emosi, kemampuan AI dalam menangkap intonasi mikro—sinyal emosional halus yang sering kali terlewat oleh manusia—merupakan langkah maju yang signifikan. Dalam konteks tersebut, AI dapat berpotensi memainkan peran penting dalam memberikan empati yang dapat diskalakan.

Dengan berbagai temuan ini, jelas bahwa meskipun AI dapat menandingi manusia dalam beberapa aspek pengenalan emosi, pemahaman yang lebih mendalam mengenai emosi tetap menjadi domain manusia. Ini menunjukkan bahwa teknologi dapat menjadi alat bantu dalam memahami dan merespons emosi, namun kedalaman dan kompleksitas pengalaman emosional manusia tetap tidak tergantikan.

Exit mobile version